Cari Blog Ini

Kamis, 17 Maret 2011

ASKEP KMB

I. FRAKTUR FEMUR

II. DEFENISI
Rusaknya kontinuitas tulang pangkal paha yang dapat disebabkan oleh trauma langsung, kelelahan otot, kondisi-kondisi tertentu seperti degenerasi tulang / osteoporosis.
III.
IV. FISIOLOGI / ANATOMI
Persendian panggul merupakan bola dan mangkok sendi dengan acetabulum bagian dari femur, terdiri dari : kepala, leher, bagian terbesar dan kecil, trokhanter dan batang, bagian terjauh dari femur berakhir pada kedua kondilas. Kepala femur masuk acetabulum. Sendi panggul dikelilingi oleh kapsula fibrosa, ligamen dan otot. Suplai darah ke kepala femoral merupakan hal yang penting pada faktur hip. Suplai darah ke femur bervariasi menurut usia. Sumber utamanya arteri retikuler posterior, nutrisi dari pembuluh darah dari batang femur meluas menuju daerah tronkhanter dan bagian bawah dari leher femur.
V.
VI. KLASIFIKASI
Ada 2 type dari fraktur femur, yaitu :
1. Fraktur Intrakapsuler; femur yang terjadi di dalam tulang sendi, panggul dan kapsula.
• Melalui kepala femur (capital fraktur)
• Hanya di bawah kepala femur
• Melalui leher dari femur

2. Fraktur Ekstrakapsuler;
• Terjadi di luar sendi dan kapsul, melalui trokhanter femur yang lebih besar/yang lebih kecil /pada daerah intertrokhanter.
• Terjadi di bagian distal menuju leher femur tetapi tidak lebih dari 2 inci di bawah trokhanter kecil.


VII. PATOFISIOLOGI
A. PENYEBAB FRAKTUR ADALAH TRAUMA
Fraktur patologis; fraktur yang diakibatkan oleh trauma minimal atau tanpa trauma berupa
yang disebabkan oleh suatu proses., yaitu :
• Osteoporosis Imperfekta
• Osteoporosis
• Penyakit metabolik



1. TRAUMA
Dibagi menjadi dua, yaitu :
Trauma langsung, yaitu benturan pada tulang. Biasanya penderita terjatuh dengan posisi miring dimana daerah trokhanter mayor langsung terbentur dengan benda keras (jalanan).
Trauma tak langsung, yaitu titik tumpuan benturan dan fraktur berjauhan, misalnya jatuh terpeleset di kamar mandi pada orangtua.

TANDA DAN GEJALA
• Nyeri hebat di tempat fraktur
• Tak mampu menggerakkan ekstremitas bawah
• Rotasi luar dari kaki lebih pendek
• Diikuti tanda gejala fraktur secara umum, seperti : fungsi berubah, bengkak, kripitasi, sepsis pada fraktur terbuka, deformitas.

PENATALAKSANAAN MEDIK
• X.Ray
• Bone scans, Tomogram, atau MRI Scans
• Arteriogram : dilakukan bila ada kerusakan vaskuler.
• CCT kalau banyak kerusakan otot.


TRAKSI
Penyembuhan fraktur bertujuan mengembalikan fungsi tulang yang patah dalam jangka waktu sesingkat mungkin
Metode Pemasangan traksi:
Traksi Manual
Tujuan : Perbaikan dislokasi, Mengurangi fraktur, Pada keadaan Emergency.
Dilakukan dengan menarik bagian tubuh.

Traksi Mekanik
Ada dua macam, yaitu :
Traksi Kulit
Dipasang pada dasar sistem skeletal untuk struktur yang lain, misalnya: otot. Traksi kulit terbatas
untuk 4 minggu dan beban < 5 kg.
Untuk anak-anak waktu beban tersebut mencukupi untuk dipakai sebagai fraksi definitif, bila tidak diteruskan dengan pemasangan gips.


Traksi Skeletal
Merupakan traksi definitif pada orang dewasa yang merupakan balanced traction. Dilakukan untuk menyempurnakan luka operasi dengan kawat metal atau penjepit melalui tulang/jaringan metal.

KEGUNAAN PEMASANGAN TRAKSI
Traksi yang dipasang pada leher, di tungkai, lengan atau panggul, kegunaannya :
• Mengurangi nyeri akibat spasme otot
• Memperbaiki dan mencegah deformitas
• Immobilisasi
• Difraksi penyakit (dengan penekanan untuk nyeri tulang sendi).
• Mengencangkan pada perlekatannya.


MACAM - MACAM TRAKSI
Traksi Panggul
Disempurnakan dengan pemasangan sebuah ikat pinggang di atas untuk mengikat puncak iliaka.

Traksi Ekstension (Buck’s Extention)
Lebih sederhana dari traksi kulit dengan menekan lurus satu kaki ke dua kaki. Digunakan untuk immibilisasi tungkai lengan untuk waktu yang singkat atau untuk mengurangi spasme otot.

Traksi Cervikal
Digunakan untuk menahan kepala extensi pada keseleo, kejang dan spasme. Traksi ini biasa dipasang dengan halter kepala.

Traksi Russell’s
Traksi ini digunakan untuk frakstur batang femur. Kadang-kadang juga digunakan untuk terapi nyeri punggung bagian bawah. Traksi kulit untuk skeletal yang biasa digunakan.
Traksi ini dibuat sebuah bagian depan dan atas untuk menekan kaki dengan pemasangan vertikal pada lutut secara horisontal pada tibia atau fibula.

Traksi khusus untuk anak-anak
Penderita tidur terlentang 1-2 jam, di bawah tuberositas tibia dibor dengan steinman pen, dipasang staples pada steiman pen. Paha ditopang dengan thomas splint, sedang tungkai bawah ditopang atau Pearson attachment. Tarikan dipertahankan sampai 2 minggu atau lebih, sampai tulangnya membentuk callus yang cukup. Sementara itu otot-otot paha dapat dilatih secara aktif.


DAFTAR KEPUSTAKAAN
Doenges M.E. (1989) Nursing Care Plan, Guidlines for Planning Patient Care (2 nd ed ). Philadelpia, F.A. Davis Company.

Long; BC and Phipps WJ (1985) Essential of Medical Surgical Nursing : A Nursing Process Approach St. Louis. Cv. Mosby Company.
























KASUS
Saudara adalah seorang perawat di ruang bedah yang diberi tanggung jawab untuk memberikan asuhan keperawatan kepada Tn. Muria, usia 40 tahun dengan fraktur femur kanan 1/3 distal comunited. Saat ini pasien masih menggunakan Back slab sambil menunggu jadwal operasi untuk tandur (cangkok) tulang dan pemasangan eksterna traksi.
Dari balutan yang ada pada Back slab merembes darah cukup banyak, pasien mengeluh nyeri berat. Pasien semenjak kecelakaan 24 jam yang lalu tidak bisa tidur karena menahan nyeri. Ibu jari dan jari-jari kaki kanan terasa baal.

SOAL : Buatlah rencana asuhan keperawatan disertai rasionalisasinya !

JAWAB:
RENCANA KEPERAWATAN

Prioritas Masalah
• Mengatasi perdarahan
• Mengatasi nyeri
• Mencegah komplikasi
• Memberi informasi tentang kondisi, prognosis, dan pengobatan

NO DIAGNOSA KEPERAWATAN INTERVENSI RASIONALISASI

1.
Potensial terjadinya syok s/d perdarahan yg banyak
INDENPENDEN:
a) Observasi tanda-tanda vital.

b) Mengkaji sumber, lokasi, dan banyak- nya per darahan

c) Memberikan posisi supinasi


d) Memberikan banyak cairan (minum)


KOLABORASI:
e) Pemberian cairan per infus



f) Pemberian obat koa-gulan sia (vit.K, Adona) dan peng- hentian perdarahan dgn fiksasi.

g) Pemeriksaan laborato- rium (Hb, Ht)


a) Untuk mengetahui tanda-tanda syok se- dini mungkin
b) Untuk menentukan tindak an


c) Untuk mengurangi per darahan dan men- cegah kekurangan darah ke otak.
d) Untuk mencegah ke- kurangan cairan
(mengganti cairan yang hilang)

e) Pemberian cairan per-infus.



f) Membantu proses pem-bekuan darah dan untuk menghentikan perda-rahan.


g) Untuk mengetahui ka-dar Hb, Ht apakah perlu transfusi atau tidak.

2.
Gangguan rasa nyaman:
Nyeri s/d perubahan fragmen tulang, luka pada jaringan lunak, pemasangan back slab, stress, dan cemas
INDEPENDEN:
a) Mengkaji karakteris- tik nyeri : lokasi, durasi, intensitas nyeri dengan meng- gunakan skala nyeri (0-10)
b) Mempertahankan im- mobilisasi (back slab)

c) Berikan sokongan (support) pada ektremitas yang luka.

d) Menjelaskan seluruh prosedur di atas





KOLABORASI:
e) Pemberian obat-obatan analgesik


a) Untuk mengetahui tingkat rasa nyeri sehingga dapat me- nentukan jenis tindak annya.

b) Mencegah pergeser- an tulang dan pe- nekanan pada jaring- an yang luka.
c) Peningkatan vena return, menurunkan edem, dan me- ngurangi nyeri.
d) Untuk mempersiap- kan mental serta agar pasien berpartisipasi pada setiap tindakan yang akan dilakukan.



e) Mengurangi rasa nyeri

3.
Potensial infeksi se- hubungan dengan luka terbuka.
INDEPENDEN:
a) Kaji keadaan luka (kontinuitas dari kulit) terhadap ada- nya: edema, rubor, kalor, dolor, fungsi laesa.
b) Anjurkan pasien untuk tidak memegang bagian yang luka.
c) Merawat luka dengan menggunakan tehnik aseptik

d) Mewaspadai adanya keluhan nyeri men- dadak, keterbatasan gerak, edema lokal, eritema pada daerah luka.

KOLABORASI:
e) Pemeriksaan darah : leokosit


f) Pemberian obat-obatan :
antibiotika dan TT (Toksoid Tetanus)
g) Persiapan untuk operasi sesuai indikasi



a) Untuk mengetahui tanda-tanda infeksi.




b) Meminimalkan terjadinya kontaminasi.

c) Mencegah kontami- nasi dan kemungkin- an infeksi silang.

d) Merupakan indikasi adanya osteomilitis.






e) Lekosit yang me- ningkat artinya sudah terjadi proses infeksi

f) Untuk mencegah ke- lanjutan terjadinya infeksi. dan pencegah an tetanus.
g) Mempercepat proses penyembuhan luka dan dan penyegahan peningkatan infeksi.



4.
Gangguan aktivitas sehubungan dengan kerusakan neuromuskuler skeletal, nyeri, immobilisasi.
INDEPENDEN:
a) Kaji tingkat im- mobilisasi yang disebabkan oleh edema dan persepsi pasien tentang immobilisasi ter- sebut.
b) Mendorong parti- sipasi dalam aktivitas rekreasi (menonton TV, membaca kora, dll ).





c) Menganjurkan pasien untuk melakukan latihan pasif dan aktif pada yang cedera maupun yang tidak.





d) Membantu pasien dalam perawatan diri






e) Auskultasi bising usus, monitor kebiasa an eliminasi dan menganjurkan agar b.a.b. teratur.

f) Memberikan diit tinggi protein , vitamin , dan mi- neral.






KOLABORASI :

g) Konsul dengan bagi- an fisioterapi


a) Pasien akan mem- batasi gerak karena salah persepsi (persepsi tidak pro- posional)


b) Memberikan ke- sempatan untuk me- ngeluarkan energi, memusatkan per- hatian, meningkatkan perasaan mengontrol diri pasien dan membantu dalam mengurangi isolasi sosial.
c) Meningkatkan aliran darah ke otot dan tulang untuk me- ningkatkan tonus otot, mempertahankan mobilitas sendi, men- cegah kontraktur / atropi dan reapsorbsi Ca yang tidak digunakan.
d) Meningkatkan ke- kuatan dan sirkulasi otot, meningkatkan pasien dalam me- ngontrol situasi, me- ningkatkan kemauan pasien untuk sembuh.

e) Bedrest, penggunaan analgetika dan pe- rubahan diit dapat menyebabkan penurunan peristaltik usus dan konstipasi.
f) Mempercepat proses penyembuhan, mencegah penurunan BB, karena pada immobilisasi biasanya terjadi penurunan BB (20 - 30 lb).
Catatan : Untuk sudah dilakukan traksi.

g) Untuk menentukan program latihan.

5.
Kurangnya pengetahuan tentang kondisi, prognosa, dan pengo- batan sehubungan dengan kesalahan dalam pe- nafsiran, tidak familier dengan sumber in- formasi.
INDEPENDEN:
a) Menjelaskan tentang kelainan yang muncul prognosa, dan harap- an yang akan datang.

b) Memberikan dukung an cara-cara mobili- sasi dan ambulasi sebagaimana yang dianjurkan oleh bagi- an fisioterapi.




c) Memilah-milah aktif- itas yang bisa mandiri dan yang harus dibantu.



d) Mengidentifikasi pe- layanan umum yang tersedia seperti team rehabilitasi, perawat keluarga (home care)
e) Mendiskusikan tentang perawatan lanjutan.


a) Pasien mengetahui kondisi saat ini dan hari depan sehingga pasien dapat menentu kan pilihan.
b) Sebagian besar fraktur memerlukan penopang dan fiksasi selama proses pe- nyembuhan sehingga keterlambatan pe- nyembuhan disebab- kan oleh penggunaan alat bantu yang kurang tepat.
c) Mengorganisasikan kegiatan yang diperlu kan dan siapa yang perlu menolongnya. (apakah fisioterapi, perawat atau ke- luarga).
d) Membantu meng- fasilitaskan perawa- tan mandiri memberi support untuk man- diri.
e) Penyembuhan fraktur tulang kemungkinan lama (kurang lebih 1 tahun) sehingga perlu disiapkan untuk perencanaan perawatan lanjutan dan pasien koopratif.


































VIII. FRAKTUR FEMUR

IX. DEFINISI
Rusaknya kontinuitas tulang pangkal paha yang dapat disebabkan oleh trauma langsung, kelelahan otot, kondisi-kondisi tertentu seperti degenerasi tulang / osteoporosis.
X.
XI. FISIOLOGI / ANATOMI
Persendian panggul merupakan bola dan mangkok sendi dengan acetabulum bagian dari femur, terdiri dari : kepala, leher, bagian terbesar dan kecil, trokhanter dan batang, bagian terjauh dari femur berakhir pada kedua kondilas. Kepala femur masuk acetabulum. Sendi panggul dikelilingi oleh kapsula fibrosa, ligamen dan otot. Suplai darah ke kepala femoral merupakan hal yang penting pada faktur hip. Suplai darah ke femur bervariasi menurut usia. Sumber utamanya arteri retikuler posterior, nutrisi dari pembuluh darah dari batang femur meluas menuju daerah tronkhanter dan bagian bawah dari leher femur.
XII.
XIII. KLASIFIKASI
Ada 2 type dari fraktur femur, yaitu :
1. Fraktur Intrakapsuler; femur yang terjadi di dalam tulang sendi, panggul dan kapsula.
• Melalui kepala femur (capital fraktur)
• Hanya di bawah kepala femur
• Melalui leher dari femur

2. Fraktur Ekstrakapsuler;
• Terjadi di luar sendi dan kapsul, melalui trokhanter femur yang lebih besar/yang lebih kecil/pada daerah intertrokhanter.
• Terjadi di bagian distal menuju leher femur tetapi tidak lebih dari 2 inci di bawah trokhanter kecil.

XIV. PATOFISIOLOGI
B. PENYEBAB FRAKTUR ADALAH TRAUMA
Fraktur patologis; fraktur yang diakibatkan oleh trauma minimal atau tanpa trauma yang disebabkan oleh suatu proses, yaitu :
• Osteoporosis Imperfekta
• Osteoporosis
• Penyakit metabolik

2. TRAUMA
Dibagi menjadi dua, yaitu :
Trauma langsung, yaitu benturan pada tulang. Biasanya penderita terjatuh dengan posisi miring dimana daerah trokhanter mayor langsung terbentur dengan benda keras (jalanan).
Trauma tak langsung, yaitu titik tumpuan benturan dan fraktur berjauhan, misalnya jatuh terpeleset di kamar mandi pada orangtua.

TANDA DAN GEJALA
• Nyeri hebat di tempat fraktur
• Tak mampu menggerakkan ekstremitas bawah
• Rotasi luar dari kaki lebih pendek
• Diikuti tanda gejala fraktur secara umum, seperti : fungsi berubah, bengkak, kripitasi, sepsis pada fraktur terbuka, deformitas.

PENATALAKSANAAN MEDIK
• X.Ray
• Bone scans, Tomogram, atau MRI Scans
• Arteriogram : dilakukan bila ada kerusakan vaskuler.
• CCT kalau banyak kerusakan otot.

TRAKSI
Penyembuhan fraktur bertujuan mengembalikan fungsi tulang yang patah dalam jangka waktu sesingkat mungkin
Metode Pemasangan traksi:
Traksi Manual
Tujuan : Perbaikan dislokasi, Mengurangi fraktur, Pada keadaan Emergency.
Dilakukan dengan menarik bagian tubuh.

Traksi Mekanik
Ada dua macam, yaitu :
Traksi Kulit
Dipasang pada dasar sistem skeletal untuk struktur yang lain, misalnya: otot. Traksi kulit terbatas
untuk 4 minggu dan beban < 5 kg.
Untuk anak-anak waktu beban tersebut mencukupi untuk dipakai sebagai fraksi definitif, bila tidak diteruskan dengan pemasangan gips.
Traksi Skeletal
Merupakan traksi definitif pada orang dewasa yang merupakan balanced traction. Dilakukan untuk menyempurnakan luka operasi dengan kawat metal atau penjepit melalui tulang/jaringan metal.

KEGUNAAN PEMASANGAN TRAKSI
Traksi yang dipasang pada leher, di tungkai, lengan atau panggul, kegunaannya :
• Mengurangi nyeri akibat spasme otot
• Memperbaiki dan mencegah deformitas
• Immobilisasi
• Difraksi penyakit (dengan penekanan untuk nyeri tulang sendi).
• Mengencangkan pada perlekatannya.

MACAM - MACAM TRAKSI
Traksi Panggul
Disempurnakan dengan pemasangan sebuah ikat pinggang di atas untuk mengikat puncak iliaka.
Traksi Ekstension (Buck’s Extention)
Lebih sederhana dari traksi kulit dengan menekan lurus satu kaki ke dua kaki. Digunakan untuk immibilisasi tungkai lengan untuk waktu yang singkat atau untuk mengurangi spasme otot.
Traksi Cervikal
Digunakan untuk menahan kepala extensi pada keseleo, kejang dan spasme. Traksi ini biasa dipasang dengan halter kepala.


Traksi Russell’s
Traksi ini digunakan untuk frakstur batang femur. Kadang-kadang juga digunakan untuk terapi nyeri punggung bagian bawah. Traksi kulit untuk skeletal yang biasa digunakan.
Traksi ini dibuat sebuah bagian depan dan atas untuk menekan kaki dengan pemasangan vertikal pada lutut secara horisontal pada tibia atau fibula.
Traksi khusus untuk anak-anak
Penderita tidur terlentang 1-2 jam, di bawah tuberositas tibia dibor dengan steinman pen, dipasang staples pada steiman pen. Paha ditopang dengan thomas splint, sedang tungkai bawah ditopang atau Pearson attachment. Tarikan dipertahankan sampai 2 minggu atau lebih, sampai tulangnya membentuk callus yang cukup. Sementara itu otot-otot paha dapat dilatih secara aktif.

PENGKAJIAN
1. Riwayat keperawatan
a. Riwayat Perjalanan penyakit
- Keluhan utama klien datang ke RS atau pelayanan kesehatan
- Apa penyebabnya, kapan terjadinya kecelakaan atau trauma
- Bagaimana dirasakan, adanya nyeri, panas, bengkak dll
- Perubahan bentuk, terbatasnya gerakan
- Kehilangan fungsi
- Apakah klien mempunyai riwayat penyakit osteoporosis
b. Riwayat pengobatan sebelumnya
- Apakan klien pernah mendapatkan pengobatan jenis kortikosteroid dalam jangka waktu lama
- Apakah klien pernah menggunakan obat-obat hormonal, terutama pada wanita
- Berapa lama klien mendapatkan pengobatan tersebut
- Kapan klien mendapatkan pengobatan terakhir
c. Proses pertolongan pertama yang dilakukan
- Pemasangan bidai sebelum memindahkan dan pertahankan gerakan diatas/di bawah tulang yang fraktur sebelum dipindahkan
- Tinggikan ekstremitas untuk mengurangi edema

2. Pemeriksaan fisik
a. Mengidentifikasi tipe fraktur
b. Inspeksi daerah mana yang terkena
- Deformitas yang nampak jelas
- Edema, ekimosis sekitar lokasi cedera
- Laserasi
- Perubahan warna kulit
- Kehilangan fungsi daerah yang cidera
c. Palpasi
- Bengkak, adanya nyeri dan penyebaran
- Krepitasi
- Nadi, dingin
- Observasi spasme otot sekitar daerah fraktur






KASUS
Saudara adalah seorang perawat di ruang bedah yang diberi tanggung jawab untuk memberikan asuhan keperawatan kepada Tn. Muria, usia 40 tahun dengan fraktur femur kanan 1/3 distal comunited. Saat ini pasien masih menggunakan Back slab sambil menunggu jadwal operasi untuk tandur (cangkok) tulang dan pemasangan eksterna traksi.
Dari balutan yang ada pada Back slab merembes darah cukup banyak, pasien mengeluh nyeri berat. Pasien semenjak kecelakaan 24 jam yang lalu tidak bisa tidur karena menahan nyeri. Ibu jari dan jari-jari kaki kanan terasa baal.

SOAL : Buatlah rencana asuhan keperawatan disertai rasionalisasinya !

JAWAB:
RENCANA KEPERAWATAN

Prioritas Masalah
• Mengatasi perdarahan
• Mengatasi nyeri
• Mencegah komplikasi
• Memberi informasi tentang kondisi, prognosis, dan pengobatan

NO DIAGNOSA KEPERAWATAN INTERVENSI RASIONALISASI

1.
Potensial terjadinya syok s/d perdarahan yg banyak
INDENPENDEN:
a) Observasi tanda-tanda vital.

b) Mengkaji sumber, lokasi, dan banyak- nya per darahan
c) Memberikan posisi supinasi


d) Memberikan banyak cairan (minum)

KOLABORASI:
e) Pemberian cairan per infus
f) Pemberian obat koa-gulan sia (vit.K, Adona) dan peng- hentian perdarahan dgn fiksasi.
g) Pemeriksaan laborato- rium (Hb, Ht)


a) Untuk mengetahui tanda-tanda syok se- dini mungkin
b) Untuk menentukan tindak an

c) Untuk mengurangi per darahan dan men- cegah kekurangan darah ke otak.
d) Untuk mencegah ke- kurangan cairan
(mengganti cairan yang hilang)


e) Pemberian cairan per-infus.
f) Membantu proses pem-bekuan darah dan untuk menghentikan perda-rahan.

g) Untuk mengetahui ka-dar Hb, Ht apakah perlu transfusi atau tidak.

2.
Gangguan rasa nyaman:
Nyeri s/d perubahan fragmen tulang, luka pada jaringan lunak, pemasangan back slab, stress, dan cemas
INDEPENDEN:
a) Mengkaji karakteris- tik nyeri : lokasi, durasi, intensitas nyeri dengan meng- gunakan skala nyeri (0-10)
b) Mempertahankan im- mobilisasi (back slab)

c) Berikan sokongan (support) pada ektremitas yang luka.

d) Menjelaskan seluruh prosedur di atas


KOLABORASI:
e) Pemberian obat-obatan analgesik


a) Untuk mengetahui tingkat rasa nyeri sehingga dapat me- nentukan jenis tindak annya.

b) Mencegah pergeser- an tulang dan pe- nekanan pada jaring- an yang luka.
c) Peningkatan vena return, menurunkan edem, dan me- ngurangi nyeri.
d) Untuk mempersiap- kan mental serta agar pasien berpartisipasi pada setiap tindakan yang akan dilakukan.

e) Mengurangi rasa nyeri

3.
Potensial infeksi se- hubungan dengan luka terbuka.
INDEPENDEN:
a) Kaji keadaan luka (kontinuitas dari kulit) terhadap ada- nya: edema, rubor, kalor, dolor, fungsi laesa.
b) Anjurkan pasien untuk tidak memegang bagian yang luka.
c) Merawat luka dengan menggunakan tehnik aseptik
d) Mewaspadai adanya keluhan nyeri men- dadak, keterbatasan gerak, edema lokal, eritema pada daerah luka.

KOLABORASI:
e) Pemeriksaan darah : leokosit

f) Pemberian obat-obatan :
antibiotika dan TT (Toksoid Tetanus)
g) Persiapan untuk operasi sesuai indikasi



a) Untuk mengetahui tanda-tanda infeksi.


b) Meminimalkan terjadinya kontaminasi.
c) Mencegah kontami- nasi dan kemungkin- an infeksi silang.
d) Merupakan indikasi adanya osteomilitis.




e) Lekosit yang me- ningkat artinya sudah terjadi proses infeksi
f) Untuk mencegah ke- lanjutan terjadinya infeksi. dan pencegah an tetanus.
g) Mempercepat proses penyembuhan luka dan dan penyegahan peningkatan infeksi.




4.
Gangguan aktivitas sehubungan dengan kerusakan neuromuskuler skeletal, nyeri, immobilisasi.
INDEPENDEN:
a) Kaji tingkat im- mobilisasi yang disebabkan oleh edema dan persepsi pasien tentang immobilisasi ter- sebut.
b) Mendorong parti- sipasi dalam aktivitas rekreasi (menonton TV, membaca kora, dll ).



c) Menganjurkan pasien untuk melakukan latihan pasif dan aktif pada yang cedera maupun yang tidak.


d) Membantu pasien dalam perawatan diri



e) Auskultasi bising usus, monitor kebiasa an eliminasi dan menganjurkan agar b.a.b. teratur.

f) Memberikan diit tinggi protein , vitamin , dan mi- neral.






KOLABORASI :

g) Konsul dengan bagi- an fisioterapi


a) Pasien akan mem- batasi gerak karena salah persepsi (persepsi tidak pro- posional)

b) Memberikan ke- sempatan untuk me- ngeluarkan energi, memusatkan per- hatian, meningkatkan perasaan mengontrol diri pasien dan membantu dalam mengurangi isolasi sosial.
c) Meningkatkan aliran darah ke otot dan tulang untuk me- ningkatkan tonus otot, mempertahankan mobilitas sendi, men- cegah kontraktur / atropi dan reapsorbsi Ca yang tidak digunakan.
d) Meningkatkan ke- kuatan dan sirkulasi otot, meningkatkan pasien dalam me- ngontrol situasi, me- ningkatkan kemauan pasien untuk sembuh.
e) Bedrest, penggunaan analgetika dan pe- rubahan diit dapat menyebabkan penurunan peristaltik usus dan konstipasi.
f) Mempercepat proses penyembuhan, mencegah penurunan BB, karena pada immobilisasi biasanya terjadi penurunan BB (20 - 30 lb).
Catatan : Untuk sudah dilakukan traksi.



g) Untuk menentukan program latihan.

5.
Kurangnya pengetahuan tentang kondisi, prognosa, dan pengo- batan sehubungan dengan kesalahan dalam pe- nafsiran, tidak familier dengan sumber in- formasi.
INDEPENDEN:
a) Menjelaskan tentang kelainan yang muncul prognosa, dan harap- an yang akan datang.
b) Memberikan dukung an cara-cara mobili- sasi dan ambulasi sebagaimana yang dianjurkan oleh bagi- an fisioterapi.


c) Memilah-milah aktif- itas yang bisa mandiri dan yang harus dibantu.

d) Mengidentifikasi pe- layanan umum yang tersedia seperti team rehabilitasi, perawat keluarga (home care)
e) Mendiskusikan tentang perawatan lanjutan.


a) Pasien mengetahui kondisi saat ini dan hari depan sehingga pasien dapat menentu kan pilihan.
b) Sebagian besar fraktur memerlukan penopang dan fiksasi selama proses pe- nyembuhan sehingga keterlambatan pe- nyembuhan disebab- kan oleh penggunaan alat bantu yang kurang tepat.
c) Mengorganisasikan kegiatan yang diperlu kan dan siapa yang perlu menolongnya. (apakah fisioterapi, perawat atau ke- luarga).
d) Membantu meng- fasilitaskan perawa- tan mandiri memberi support untuk man- diri.

e) Penyembuhan fraktur tulang kemungkinan lama (kurang lebih 1 tahun) sehingga perlu disiapkan untuk perencanaan perawatan lanjutan dan pasien koopratif.





DAFTAR KEPUSTAKAAN
Doenges M.E. (1989) Nursing Care Plan, Guidlines for Planning Patient Care (2 nd ed ). Philadelpia, F.A. Davis Company.

Long; BC and Phipps WJ (1985) Essential of Medical Surgical Nursing : A Nursing Process Approach St. Louis. Cv. Mosby Company.

Sabtu, 25 September 2010

KONSEP KEPERAWATAN JIWA

1.1 PENGERTIAN
Kesehatan Jiwa adalah Perasaan Sehat dan Bahagia serta mampu mengatasi tantangan hidup, dapat menerima orang lain sebagaimana adanya serta mempunyai sikap positif terhadap diri sendiri dan orang lain.
:
Kesehatan jiwa meliputi
· Bagaimana perasaan anda terhadap diri sendiri
· Bagaimana perasaan anda terhadap orang lain
· Bagaimana kemampuan anda mengatasi persoalan hidup anda Sehari - hari.


Beberapa pengertian manusia:

* Individu yang holistik: terdiri dari jasmani dan ‘rohani’.
* Terdiri dari komponen jasmani, akal, jiwa dan qalbu (ruh)
* Struktur jiwa manusia terdiri dari id (insting-prinsip kepuasan), ego (kesadaran realitas-prinsip realitas), super ego/ moralitas-prinsip moralitas (Teori Freud)


________________________________________________________________


1.2 KRITERIA SEHAT MENTAL MENURUT YAHODA

* Sikap positif terhadap diri sendiri
* Tumbuh, berkembang dan aktualisasi
* Integrasi : Masa lalu dan sekarang
* Otonomi dalam pengambilan kupusan
* Persepsi sesuai kenyataan
* Menguasai lingkungan : mampu beradaptasi

___________________________________________________________

1.3 RENTANG SEHAT JIWA


1. Dinamis bukan titik statis
2. Rentang dimulai dari sehat optimal – mati
3. Ada tahap-tahap
4. Adanya variasi tiap individu
5. Menggambarkan kemampuan adaptasi
6. Berfungsi secara efektif : sehat


_____________________________________________________


1.4 PENGERTIAN KEPERAWATAN KESEHATAN JIWA


a. Menurut American Nurses Associations (ANA)

Keperawatan jiwa adalah area khusus dalam praktek keperawatan yang menggunakan ilmu tingkah laku manusia sebagai dasar dan menggunakan diri sendiri secara teraupetik dalam meningkatkan, mempertahankan, memulihkan kesehatan mental klien dan kesehatan mental masyarakat dimana klien berada (American Nurses Associations).

b. Menurut WHO
Kes. Jiwa bukan hanya suatu keadaan tdk ganguan jiwa, melainkan mengandung berbagai karakteristik yg adalah perawatan langsung, komunikasi dan management, bersifat positif yg menggambarkan keselarasan dan keseimbangan kejiwaan yg mencerminkan kedewasaan kepribadian yg bersangkutan.

c. Menurut UU KES. JIWA NO 03 THN 1966
Kondisi yg memungkinkan perkembangan fisik, intelektual emosional secara optimal dari seseorang dan perkebangan ini selaras dgn orang lain.


Keperawatan jiwa adalah pelayanan keperawatan profesional didasarkan pada ilmu perilaku, ilmu keperawatan jiwa pada manusia sepanjang siklus kehidupan dengan respons psiko-sosial yang maladaptif yang disebabkan oleh gangguan bio-psiko-sosial, dengan menggunakan diri sendiri dan terapi keperawatan jiwa ( komunikasi terapeutik dan terapi modalitas keperawatan kesehatan jiwa ) melalui pendekatan proses keperawatan untuk meningkatkan, mencegah, mempertahankan dan memulihkan masalah kesehatan jiwa klien (individu, keluarga, kelompok komunitas ).

Keperawatan jiwa adalah proses interpersonal yang berusaha untuk meningkatkan dan mempertahankan perilaku sehingga klien dapat berfungsi utuh sebagai manusia.

Prinsip keperawatan jiwa terdiri dari empat komponen yaitu manusia, lingkungan, kesehatan dan keperawatan.

* Manusia

Fungsi seseorang sebagai makhluk holistik yaitu bertindak, berinteraksi dan bereaksi dengan lingkungan secara keseluruhan. Setiap individu mempunyai kebutuhan dasar yang sama dan penting. Setiap individu mempunyai harga diri dan martabat. Tujuan individu adalah untuk tumbuh, sehat, mandiri dan tercapai aktualisasi diri. Setiap individu mempunyai kemampuan untuk berubah dan keinginan untuk mengejar tujuan personal. Setiap individu mempunyai kapasitas koping yang bervariasi. Setiap individu mempunyai hak untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputuasan. Semua perilaku individu bermakna dimana perilaku tersebut meliputi persepsi, pikiran, perasaan dan tindakan.

* Lingkungan

Manusia sebagai makhluk holistik dipengaruhi oleh lingkungan dari dalam dirinya dan lingkungan luar, baik keluarga, kelompok, komunitas. Dalam berhubungan dengan lingkungan, manusia harus mengembangkan strategi koping yang efektif agar dapat beradaptasi. Hubungan interpersonal yang dikembangkan dapat menghasilkan perubahan diri individu.

* Kesehatan

Kesehatan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang menunjukkan salah satu segi kualitas hidup manusia, oleh karena itu, setiap individu mempunyai hak untuk memperoleh kesehatan yang sama melalui perawatan yang adekuat.

* Keperawatan

Dalam keperawatan jiwa, perawat memandang manusia secara holistik dan menggunakan diri sendiri secara terapeutik.

Metodologi dalam keperawatan jiwa adalah menggunakan diri sendiri secara terapeutik dan interaksinya interpersonal dengan menyadari diri sendiri, lingkungan, dan interaksinya dengan lingkungan. Kesadaran ini merupakan dasar untuk perubahan. Klien bertambah sadar akan diri dan situasinya, sehingga lebih akurat mengidentifikasi kebutuhan dan masalah serta memilih cara yang sehat untuk mengatasinya. Perawat memberi stimulus yang konstruktif sehingga akhirnya klien belajar cara penanganan masalah yang merupakan modal dasar dalam menghadapi berbagai masalah.
Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa Pemberian asuhan keperawatan merupakan proses terapeutik yang melibatkan hubungan kerja sama antara perawat dengan klien, dan masyarakat untuk mencapai tingkat kesehatan yang optimal ( Carpenito, 1989 dikutip oleh Keliat,1991).
Perawat memerlukan metode ilmiah dalam melakukan proses terapeutik tersebut, yaitu proses keperawatan. Penggunaan proses keperawatan membantu perawat dalam melakukan praktik keperawatan, menyelesaikan masalah keperawatan klien, atau memenuhi kebutuhan klien secara ilmiah, logis, sistematis, dan terorganisasi. Pada dasarnya, proses keperawatan merupakan salah satu teknik penyelesaian masalah (Problem solving).
Proses keperawatan bertujuan untuk memberikan asuhan keperawatan sesuai dengan kebutuhan dan masalah klien sehingga mutu pelayanan keperawatan menjadi optimal. Kebutuhan dan masalah klien dapat diidentifikasi, diprioritaskan untuk dipenuhi, serta diselesaikan. Dengan menggunakan proses keperawatan, perawat dapat terhindar dari tindakan keperawatan yang bersifat rutin, intuisis, dan tidak unik bagi individu klien. Proses keperawatan mempunyai ciri dinamis, siklik, saling bergantung, luwes, dan terbuka. Setiap tahap dapat diperbaharui jika keadaan klien klien berubah.
Tahap demi tahap merupakan siklus dan saling bergantung. Diagnosis keperawatan tidak mungkin dapat dirumuskan jika data pengkajian belum ada. Proses keperawatan merupakan sarana / wahana kerja sama perawat dan klien. Umumnya, pada tahap awal peran perawat lebih besar dari peran klien, namun pada proses sampai akhir diharapkan sebaliknya peran klien lebih besar daripada perawat sehingga kemandirian klien dapat tercapai. Kemandirian klien merawat diri dapat pula digunakan sebagai kriteria kebutuhan terpenuhi dan / atau masalah teratasi.

Manfaat Proses Keperawatan Bagi Perawat.

a. Peningkatan otonomi, percaya diri dalam memberikan asuhan keperawatan.

b. Tersedia pola pikir/ kerja yang logis, ilmiah, sistematis, dan terorganisasi.

c. Pendokumentasian dalam proses keperawatan memperlihatkan bahwa perawat bertanggung jawab dan bertanggung gugat.

d. Peningkatan kepuasan kerja.

e. Sarana/wahana desimasi IPTEK keperawatan.

f. Pengembangan karier, melalui pola pikir penelitian.


Bagi Klien
a. Asuhan yang diterima bermutu dan dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
b. Partisipasi meningkat dalam menuju perawatan mandiri (independen care).
c. Terhindar dari malpraktik.

Keperawatan Jiwa merupakan suatu bidang spesialisasi praktik keperawatan yang menerapkan teori perilaku manusia sebagai ilmunya dan penggunaan diri sendiri secara terapeutik sebagai kiatnya. Praktik keperawatan jiwa terjadi dalam konteks sosial dan lingkungan. Perawat jiwa menggunakan pengetahuan dari ilmu-ilmu psikososial, biofisik, teori-teori kepribadian dan perilaku manusia untuk menurunkan suatu kerangka kerja teoritik yang menjadi landasan praktik keperawatan.
Kesehatan jiwa merupakan kondisi yang memfasilitasi secara optimal dan selaras dengan orang lain, sehingga tercapai kemampuan menyesuaikan diri dengan diri sendiri, orang lain, masyarakat dan lingkungan, keharmonisan fungsi jiwa, yaitu sanggup menghadapi problem yang biasa terjadi dan merasa bahagia. Sehat secara utuh mencakup aspek fisik, mental, sosial, dan pribadi yang dapat dijelaskan sebagi berikut.Kesehatan fisik, yaitu proses fungsi fisik dan fungsi fisiologis, kepadanan, dan efisiensinya.
Indikator sehat fisik yang paling minimal adalah tidak ada disfungsi, dengan indikator lain (mis. tekanan darah, kadar kolesterol, denyut nadi dan jantung, dan kadar karbon monoksida) biasa digunakan untuk menilai berbagai derajat kesehatan.Kesehatan mental/psikologis/jiwa, yaitu secara primer tentang perasaan sejahtera secara subjektif, suatu penilaian diri tentang perasaan seseorang, mencakup area seperti konsep diri tentang kemampuan seseorang, kebugaran dan energi, perasaan sejahtera, dan kemampuan pengendalian diri internal, indikator mengenai keadaan sehat mental/psikologis/jiwa yang minimal adalah tidak merasa tertekan/ depresi.

Jadi dapat disimpulkan bahwa kesehatan jiwa adalah bagian integral dari kesehatan dan merupakan kondisi yang memungkinkan perkembangan fisik, dan sosial individu secara optimal, dan selaras dengan perkembangan dengan orang lain.

Kesehatan sosial, yaitu aktivitas sosial seseorang. Kemampuan seseorang untuk menyelesaikan tugas, berperan, dan belajar berbagai keterampilan untuk berfungsi secara adaptif di dalam masyarakat. Indikator mengenai status sehat sosial yang minimal adalah kemampuan untuk melaksanakan tugas dan keterampilan dasar yang sesuai dengan peran seseorang.
Kesehatan pribadi adalah suatu keadaan yang melampaui berfungsinya secara efektif dan adekuat dari ketiga aspek tersebut di atas, menekankan pada kemungkinan kemampuan, sumber daya, bakat dan talenta internal seseorang, yang mungkin tidak dapat/ akan ditampilkan dalam suasana kehidupan sehari-hari yang biasa.
Menurut pedoman asuhan keperawatan jiwa rumah sakit umum atau pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) sehat pribadi berarti bahwa di dalam diri seseorang terdapat potensi dan kemampuan untuk memenuhi dan menyelesaikan dimensi lain dari dirinya, hal yang tidak bersifat instrumental, dan yang memungkinkan perkembangan optimal seseorang. Indikator minimal dari kesehatan pribadi adalah ada minat yang nyata terhadap aktivitas dan pengalaman yang memungkinkan seseorang untuk menembus keadaan “status quo”.
Psikiatri dan kesehatan jiwa Indonesia menggunakan pendekatan elektik-holistik yang melihat manusia dan perilakunya baik dalam keadaan sehat maupun sakit, sebagai kesatuan yang utuh dari unsur-unsur organo-biologis (bio-sistem), psiko edukatif/ psikodinamik (psiko-sistem), dan sosio-kultural (sosio-sistem).
Pendekatan ini berarti bahwa kita harus dapat melihat kondisi manusia dan perilakunya, baik dalam kondisi sehat maupun sakit, secara terinci “detail” dalam ketiga aspek tersebut di atas (ekletik), tetapi menyadari bahwa ketiga aspek tersebut saling berkaitan dan merupakan satu kesatuan yang utuh sebagai satu sistem (holistik).

Jadi jelas dengan pendekatan ini kita memperhatikan faktor psikologis dan sosial atau psikososial di samping faktor biologis di dalam melaksanakan upaya kesehatan.

Proses keperawatan pada klien dengan masalah kesehatan jiwa merupakan tantangan yang unik karena masalah kesehaan jiwa mungkin tidak dapat dilihat langsung, saperti pada masalah kesehatan fisik yang memperlihatkan bermacam gejala dan disebabkan berbagai hal. Kejadian masa lalu yang sama dengan kejadian saat ini, tetapi mungkin muncul gejala yang berbeda dan kontradiksi. Kemampuan mereka untuk berperan dalam menyelesaikan masalah juga bervariasi.
Hubungan saling percaya antara perawat dan klien merupakan dasar utama dalam melakukan asuhan keperawatan pada klien gangguan jiwa. Hal ini penting karena peran perawat dalam asuhan keperawatan jiwa adalah membantu klien untuk dapat menyelesaikan masalah sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Klien mungkin menghindar atau menolak berperan serta dan perawat mungkin cenderung membiarkan, khususnya terhadap klien yang tidak menimbulkan keributan dan tidak membahayakan.

Hal itu harus dihindari karena :

* Belajar menyelesaikan masalah akan lebih efektif jika klien ikut berperan serta.
* Dengan menyertakan klien maka pemulihan kemampuan klien dalam mengendalikan kehidupannya lebih mungkin tercapai.
* Dengan berperan serta maka klien belajar bertanggung jawab terhadap pelakunya.

Peran dan Fungsi Perawat Jiwa Defenisi dan Uraian Keperawatan Jiwa
Keperawatan jiwa adalah proses interpersonal yang berupaya meningkatkan dan mempertahankan perilaku pasien yang berperan pada fungsi yang terintegrasi. Sistem pasien atau klien dapat berupa individu, keluarga, kelompok, organisasi atau komunitas. ANA mendefiniskan keperawatan kesehatan jiwa sebagai Suatu bidang spesialisasi praktik keperawatan yang menerapkan teori perilaku manusia sebagai ilmunya dan pengunaan diri yang bermanfaat sebagai kiatnya. Praktik kontemporer keperawatan jiwa terjadi dalam konteks sosial dan lingkungan.
Peran keperawatan jiwa profesional berkembang secara kompleks dari elemen historis aslinya. Peran tersebut kini mencakup dimensi kompetensi klinis, advokasi pasien-keluarga, tanggung jawab fiskal, kolaborasi antardisiplin, akuntabilitas sosial, dan parameter legal-etik.
Center for Mental Health Services secara resmi mengakui keperawatan kesehatan jiwa sebagai salah satu dari lima inti disiplin kesehatan jiwa. Perawat jiwa menggunakan pengetahuan dari ilmu psikososial, biofisik,, teori kepribadian, dan perilaku manusia untuk mendapatkan suatu kerangka berpikir teoritis yang mendasari praktik keperawatan.

Berikut ini adalah dua tingkat praktik keperawatan klinis kesehatan jiwa yang telah diidentifikasi.
1. Psychiatric-mental health registered nurse (RN)
adalah perawat terdaftar berlisensi yang menunjukkan keterampilan klinis dalam keperawatan kesehatan jiwa melebihi keterampilan perawat baru di lapangan. Sertifikasi adalah proses formal untuk mengakui bidang keahlian klinis perawat.

2. Advanced practice registered nurse ini psychiatric-mental health (APRN-PMH)
adalah perawat terdaftar berlisensi yang minimal berpendidikan tingkat master, memiliki pengetahuan mendalam tentang teori keperawatan jiwa, membimbing praktik klinis, dan memiliki kompetensi keterampilan keperawatan jiwa lanjutan. Perawat kesehatan jiwa pada praktik lanjutan dipersiapkan untuk memiliki gelar master dan doktor dalam bidang keperawatan atau bidang lain yang berhubungan.

3. Rentang Asuhan Tatanan Tradisional
Untuk perawat jiwa meliputi fasilitas psikiatri, pusat kesehatan jiwa masyarakat, unit psikitari di rumah sakit umum, fasilitas residential, dan praktik pribadi. Namun, dengan adanya reformasi perawatan kesehatan, timbul suatu tatanan alternatif sepanjang rentang asuhan bagi perawat jiwa.

Banyak rumah sakit secara spesifik berubah bentuk menjadi sistem klinis terintegrasi yang memberikan asuhan rawat inap, hospitalisasi parsial atau terapi harian, perawatan residetial, perawatan di rumah, dan asuhan rawat jalan.
Tatanan terapi di komunitas saat ini berkembang menjadi foster care atau group home, hospice, lembaga kesehatan rumah, asosiasi perawat kunjungan, unit kedaruratan, shelter, nursing home, klinik perawatan utama, sekolah, penjara, industri, fasilitas managed care, dan organisasi pemeliharaan kesehatan.

Tiga domain praktik keperawatan jiwa kontemporer meliputi :
(1) Aktivitas asuhan langsung
(2) Aktivitas komunikasi
(3) Aktivitas penatalaksanaan

Fungsi penyuluhan, koordinasi, delegasi, dan kolaborasi pada peran perawat ditunjukkan dalam domain praktik yang tumpang tindih ini.Berbagai aktivitas perawat jiwa dalam tiap-tiap domain dijelaskan lebih lanjut. Aktivitas tersebut tetap mencerminkan sifat dan lingkup terbaru dari asuhan yang kompeten oleh perawat jiwa walaupun tidak semua perawat berperan serta pada semua aktivitas.

Selain itu, perawat jiwa mampu melakukan hal-hal berikut ini:

1. Membuat pengkajian kesehatan biopsikososial yang peka terhadap budaya.
2. Merancang dan mengimplementasikan rencana tindakan untuk pasien dan keluarga yang mengalami masalah kesehatan kompleks dan kondisi yang dapat menimbulkan sakit.
3. Berperan serta dalam aktivitas manajemen kasus, seperti mengorganisasi, mengakses, menegosiasi, mengordinasi, dan mengintegrasikan pelayanan perbaikan bagi individu dan keluarga.
4. Memberikan pedoman perawatan kesehatan kepada individu, keluarga,dan kelompok untuk menggunakan sumber kesehatan jiwa yang tersedia di komunitas termasuk pemberian perawatan, lembaga,teknologi,dan sistem sosial yang paling tepat.
5. Meningkatkan dan memelihara kesehatan jiwa serta mengatasi pengaruh gangguan jiwa melalui penyuluhan dan konseling.
6. Memberikan asuhan kepada pasien penyakit fisik yang mengalami masalah psiokologis dan pasien gangguan jiwa yang mengalami masalah fisik.
7. Mengelola dan mengordinasi sistem asuhan yang mengintegrasikan kebutuhan pasien, keluarga,staf, dan pembuat kebijakan.

____________________________________________________________________________

1. 5 PRINSIP-PRINSIP KEPERAWATAN KESEHATAN JIWA


* Roles and functions of psychiatric nurse : competent care (Peran dan fungsi keperawatan jiwa : yang kompeten).
* Therapeutic Nurse patient relationship (hubungan yang terapeutik antara perawat dengan klien).
* Conceptual models of psychiatric nursing (konsep model keperawatan jiwa).
* Stress adaptation model of psychiatric nursing (model stress dan adaptasi dalam keperawatan jiwa).
* Biological context of psychiatric nursing care (keadaan-keadaan biologis dalam keperawatan jiwa).
* Psychological context of psychiatric nursing care (keadaan-keadaan psikologis dalam keperawatan jiwa).
* Sociocultural context of psychiatric nursing care (keadaan-keadaan sosial budaya dalam keperawatan jiwa).
* Environmental context of psychiatric nursing care (keadaan-keadaan lingkungan dalam keperawatan jiwa).
* Legal ethical context of psychiatric nursing care (keadaan-keadaan legal etika dalam keperawatan jiwa).
* Implementing the nursing process : standards of care (penatalaksanaan proses keperawatan : dengan standar- standar perawatan).
* Actualizing the Psychiatric Nursing Role : Professional Performance Standards (aktualisasi peran keperawatan jiwa: melalui penampilan standar-standar professional).

__________________________________________________________________________________


1.6 PERKEMBANGAN KEPERAWATAN KESEHATAN JIWA


Menangani klien yang memiliki masalah sikap, perasaan dan konflik



Pencegahan primer



Penanganan multidisiplin



Spesialisasi keperawatan jiwa

DULU :
Pasien Gangguan Jiwa dianggap sampah, memalukan dipasung


SEKARANG :
- Meningkatkan Iptek
- Pengetahuan masyarakat tentang gangguan jiwa meningkat
- Perlu pemahaman tentang human right
- Penting meningkatkan mutu pelayanan dan perlindungan konsumen.
______________________________________________________________________


1.7 KONSEPTUAL MODEL KEPERAWATAN KESEHATAN JIWA





Tabel 1


Model

View of behavioral deviation


Therapeutic process

Roles of a patient & therapist



Psychoanalytical

(freud, Erickson)


Ego tidak mampu mengontrol ansietas, konflik tidak selesai



Asosiasi bebas & analisa mimpi

Transferen untuk memperbaiki traumatic masa lalu


Klien: mengungkapkan semua pikiran & mimpi

Terapist : menginterpretasi pikiran dan mimpi pasien



Interpersonal

(Sullivan, peplau)


Ansietas timbul & dialami secara interpersonal, basic fear is fear of rejection



Build feeling security

Trusting relationship & interpersonal satisfaction


Patient: share anxieties

Therapist : use empathy & relationship



Social

(caplan,szasz)


Social & environmental factors create stress, which cause anxiety &symptom



Environment manipulation & social support


Pasien: menyampaikan masalah menggunakan sumber yang ada di masyarakat

Terapist: menggali system social klien



Existensial

(Ellis, Rogers)


Individu gagal menemukan dan menerima diri sendiri



Experience in relationship, conducted in group

Encouraged to accept self & control behavior


Klien: berperan serta dalam pengalaman yang berarti untuk mempelajari diri

Terapist: memperluas kesadaran diri klien



Supportive Therapy

(Wermon,Rockland)


Faktor biopsikososial & respon maladaptive saat ini



Menguatkan respon koping adaptif


Klien: terlibat dalam identifikasi coping

Terapist: hubungan yang hangta dan empatik



Medical

(Meyer,Kreaplin)


Combination from physiological, genetic, environmental & social



Pemeriksaan diagnostic, terapi somatic, farmakologik & teknik interpersonal


Klien: menjalani prosedur diagnostic & terapi jangka panjang

Terapist : Therapy, Repport effects,Diagnose illness, Therapeutic Approach


Berdasarkan konseptual model keperawatan diatas, maka dapat dikelompokkan ke dalam 6 model yaitu:

1. Psycoanalytical (Freud, Erickson)

Model ini menjelaskan bahwa gangguan jiwa dapt terjadi pada seseorang apabila ego(akal) tidak berfungsi dalam mengontrol id (kehendak nafsu atau insting). Ketidakmampuan seseorang dalam menggunakan akalnya (ego) untuk mematuhi tata tertib, peraturan, norma, agama(super ego/das uber ich), akan mendorong terjadinya penyimpangan perilaku (deviation of Behavioral).

Faktor penyebab lain gangguan jiwa dalam teori ini adalah adanya konflik intrapsikis terutama pada masa anak-anak. Misalnya ketidakpuasan pada masa oral dimana anak tidak mendapatkan air susu secara sempurna, tidak adanya stimulus untuk belajar berkata- kata, dilarang dengan kekerasan untuk memasukkan benda pada mulutnya pada fase oral dan sebagainya. Hal ini akan menyebabkan traumatic yang membekas pada masa dewasa.

Proses terapi pada model ini adalah menggunakan metode asosiasi bebas dan analisa mimpi, transferen untuk memperbaiki traumatic masa lalu. Misalnya klien dibuat dalam keadaan ngantuk yang sangat. Dalam keadaan tidak berdaya pengalaman alam bawah sadarnya digali dengamn pertanyaan-pertanyaan untuk menggali traumatic masa lalu. Hal ini lebih dikenal dengan metode hypnotic yang memerlukan keahlian dan latihan yang khusus.

Dengan cara demikian, klien akan mengungkapkan semua pikiran dan mimpinya, sedangkan therapist berupaya untuk menginterpretasi pikiran dan mimpi pasien.

Peran perawat adalah berupaya melakukan assessment atau pengkajian mengenai keadaan-keadaan traumatic atau stressor yang dianggap bermakna pada masa lalu misalnya ( pernah disiksa orang tua, pernah disodomi, diperlakukan secar kasar, diterlantarkan, diasuh dengan kekerasan, diperkosa pada masa anak), dengan menggunakan pendekatan komunikasi terapeutik setelah terjalin trust (saling percaya).


2. Interpersonal ( Sullivan, peplau)

Menurut konsep model ini, kelainan jiwa seseorang bias muncul akibat adanya ancaman. Ancaman tersebut menimbulkan kecemasan (Anxiety). Ansietas timbul dan alami seseorang akibat adanya konflik saat berhubungan dengan orang lain (interpersonal). Menurut konsep ini perasaan takut seseorang didasari adnya ketakutan ditolak atau tidak diterima oleh orang sekitarnya.

Proses terapi menurut konsep ini adalh Build Feeling Security (berupaya membangun rasa aman pada klien), Trusting Relationship and interpersonal Satisfaction (menjalin hubungan yang saling percaya) dan membina kepuasan dalam bergaul dengan orang lain sehingga klien merasa berharga dan dihormati.

Peran perawat dalam terapi adalah share anxieties (berupaya melakukan sharing mengenai apa-apa yang dirasakan klien, apa yang biasa dicemaskan oleh klien saat berhubungan dengan orang lain), therapist use empathy and relationship ( perawat berupaya bersikap empati dan turut merasakan apa-apa yang dirasakan oleh klien). Perawat memberiakan respon verbal yang mendorong rasa aman klien dalam berhubungan dengan orang lain.


3. Social ( Caplan, Szasz)

Menurut konsep ini seseorang akan mengalami gangguan jiwa atau penyimpangan perilaku apabila banyaknya factor social dan factor lingkungan yang akan memicu munculnya stress pada seseorang ( social and environmental factors create stress, which cause anxiety and symptom).

Prinsip proses terapi yang sangat penting dalam konsep model ini adalah environment manipulation and social support ( pentingnya modifikasi lingkungan dan adanya dukungan sosial)

Peran perawat dalam memberikan terapi menurut model ini adalah pasien harus menyampaikan masalah menggunakan sumber yang ada di masyarakat melibatkan teman sejawat, atasan, keluarga atau suami-istri. Sedangkan therapist berupaya : menggali system sosial klien seperti suasana dirumah, di kantor, di sekolah, di masyarakat atau tempat kerja.


4. Existensial ( Ellis, Rogers)

Menurut teori model ekistensial gangguan perilaku atau gangguan jiwa terjadi bila individu gagal menemukan jati dirinya dan tujuan hidupnya. Individu tidak memiliki kebanggan akan dirinya. Membenci diri sendiri dan mengalami gangguan dalam Bodi-image-nya

Prinsip dalam proses terapinya adalah : mengupayakan individu agar berpengalaman bergaul dengan orang lain, memahami riwayat hidup orang lain yang dianggap sukses atau dapat dianggap sebagai panutan(experience in relationship), memperluas kesadaran diri dengan cara introspeksi (self assessment), bergaul dengan kelompok sosial dan kemanusiaan (conducted in group), mendorong untuk menerima jatidirinya sendiri dan menerima kritik atau feedback tentang perilakunya dari orang lain (encouraged to accept self and control behavior).

Prinsip keperawatannya adalah : klien dianjurkan untuk berperan serta dalam memperoleh pengalaman yang berarti untuk memperlajari dirinya dan mendapatkan feed back dari orang lain, misalnya melalui terapi aktivitas kelompok. Terapist berupaya untuk memperluas kesadaran diri klien melalui feed back, kritik, saran atau reward & punishment.


5. Supportive Therapy ( Wermon, Rockland)

Penyebab gangguan jiwa dalam konsep ini adalah: factor biopsikososial dan respo maladaptive saat ini. Aspek biologisnya menjadi masalah seperti: sering sakit maag, migraine, batuk-batuk. Aspek psikologisnya mengalami banyak keluhan seperti : mudah cemas, kurang percaya diri, perasaan bersalah, ragu-ragu, pemarah. Aspek sosialnya memiliki masalah seperti : susah bergaul, menarik diri,tidak disukai, bermusuhan, tidak mampu mendapatkan pekerjaan, dan sebagainya. Semua hal tersebut terakumulasi menjadi penyebab gangguan jiwa. Fenomena tersebut muncul akibat ketidakmamupan dalam beradaptasi pada masalah-masalah yang muncul saat ini dan tidak ada kaitannya dengan masa lalu.

Prinsip proses terapinya adalah menguatkan respon copinh adaptif, individu diupayakan mengenal telebih dahulu kekuatan-kekuatan apa yang ada pada dirinya; kekuatan mana yang dapat dipakai alternative pemecahan masalahnya.

Perawat harus membantu individu dalam melakukan identifikasi coping yang dimiliki dan yang biasa digunakan klien. Terapist berupaya menjalin hubungan yang hangat dan empatik dengan klien untuk menyiapkan coping klien yang adaptif.


6. Medica ( Meyer, Kraeplin)

Menurut konsep ini gangguan jiwa cenderung muncul akibat multifactor yang kompleks meliputi: aspek fisik, genetic, lingkungan dan factor sosial. Sehingga focus penatalaksanaannya harus lengkap melalui pemeriksaan diagnostic, terapi somatic, farmakologik dan teknik interpersonal. Perawat berperan dalam berkolaborasi dengan tim medis dalam melakukan prosedur diagnostic dan terapi jangka panjang, therapist berperan dalam pemberian terapi, laporan mengenai dampak terapi, menentukan diagnose, dan menentukan jenis pendekatan terapi yang digunakan.

_________________________________________________________________

1.8 PERAN PERAWAT KESEHATAN JIWA

* Pengkajian yg mempertimbangkan budaya

* Merancang dan mengimplementasikan rencana tindakan
* Berperan serta dlm pengelolaan kasus
* Meningkatkan dan memelihara kesehatan mental, mengatasi pengaruh penyakit mental - penyuluhan dan konseling
* Mengelola dan mengkoordinasikan sistem pelayanan yang mengintegrasikan kebutuhan pasien, keluarga staf dan pembuat kebijakan
* Memberikan pedoman pelayana kesehatan

___________________________________________


1.9 ASUHAN YANG KOMPETEN BAGI PERAWAT JIWA ( COMPETENT OF CARING )

* Pengkajian biopsikososial yang peka terhadap budaya.
* Merancang dan implementasi rencana tindakan untuk klien dan keluarga.
* Peran serta dalam pengelolaan kasus: mengorganisasikan, mengkaji, negosiasi, koordinasi pelayanan bagi individu dan keluarga.
* Memberikan pedoman pelayanan bagi individu, keluarga, kelompok, untuk menggunakan sumber yang tersedia di komunitas kesehatan mental, termasuk pelayanan terkait, teknologi dan sistem sosial yang paling tepat.
* Meningkatkan dan memelihara kesehatanmental serta mengatasi pengaruh penyakit mental melalui penyuluhan dan konseling.
* Memberikan askep pada penyakit fisik yang mengalami masalah psikologis dan penyakit jiwa dengan masalah fisik.
* Mengelola dan mengkoordinasi sistem pelayanan yang mengintegrasikan kebutuhan klien, keluarga, staf, dan pembuat kebijakan.


Daftar Pustaka
Keliat, Budi Anna;Panjaitan;Helena. 2005. Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa. Ed.2. Jakarta: EGC.
Stuart, Gail W.2007.Buku Saku Keperawatan Jiwa. Jakarta : EGC.
Suliswati, 2005. Konsep Dasar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta : EGC
Yosep,Iyus.2007. Keperawatan Jiwa. Jakarta: PT. Refika Aditama.

Sabtu, 19 Juni 2010

KONSEP KEPERAWATAN GAWAT DARURAT(GADAR)


KEPERAWATAN GAWAT DARURAT (KEGAWAT DARURATAN & KEKRITISAN) : FILOSOFI, KONSEP HOLISTIK & PROSES KEPERAWATAN

A. DEFINISI KGD :
Pelayanan profesional yg didasarkan pada ilmu keperawatan gawat darurat & tehnik keperawatan gawat darurat berbentuk pelayanan bio-psiko-sosio- spiritual yang komprehensif ditujukan pada semua kelompok usia yang sedang mengalami masalah kesehatan yang bersifat urgen , akut dan kritis akibat trauma, proses kehidupan ataupun bencana.
B. MATA AJAR KEPERAWATAN GAWAT DARURAT
AREA : Pra Rumah sakit dan Rumah sakit
KEMAMPUAN :Pengetahuan, Sikap & ketrampilan u/ memberikan ASKEP kegawatan & Kekritisan khususnya hal-hal yg terkait LIVE SAVING.
C. LINGKUP BAHASAN :
a. Konsep dasar KGD
b. Sisitem pelayanan KGD pra RS, Uit Gawat Darurat & prw Intensif.
c. Perawatan klien semua tk usia dng kegawatan sist : pernafasan, kardiovaskuler, persyarafan, pencernaan & endokrin, perkemihan, muskuloskeletal, reproduksi, jiwa & psikiatri
D. EMERGENCYNURSING ( KEPERAWATAN KRISIS )
a. DEFINISI EN : Sebuah area khusus / spesial dr keperawatan profesional yg melibatkan integrasi dari Praktek, Penelitian, Pendidikan profesional.
b. Praktek keperawatan emergency oleh seorang perawat profesional
c. FOCUS : Memberikan pelayanan secara episodik kpd pasien-pasien yg mencari terapi baik yg mengancam kehidupan , non krotical illness atau cedera.
d. INTI : Ditujukan pd esensi dr praktek emergency, lingkungan dimana hal tsb terjadi dan konsumen-konsumen keperawatan emergency.
e. EMERGENCY NURSES : RN profesional yg memiliki komitmen u/ menyelamatkan dan melaksanakan praktek keperawatan scr efektif.



E. EMERGENCY CARE
Pengkajian, diagnosis & terapi kep. yg dpt diterima baik aktual, potensial, tjd tiba-tiba atau urgen, masalah fisik atau psikososial dalam episodik primer atau akut yg mungkin memerlukan perawatan minimal atau tindakan support hidup, pendidikan u/ pasien atau orang terpenting lainnya, rujukan yg tepat dan pengetahuan ttg implikasi legal.
F. EMERGENCY CARE ENVIRONTMENT
Setting dimana pasien memerlukan intervensi oleh pemberi pelayanan kep emergency.
G. EMERGENCY PATIENT
1. Pasien dr segala umur dng diagnosa, tidak terdiagnosa atau maldiagnosis problem dng kompleksitas yg bervariasi.
2. Pasien-pasien yg memerlukan intervensi nyata dimana dpt terjadi perubahan status fisiologis atau psikologis scr cepat yg mungkin mengancam kehidupannya.
H. DIMENSI
Multidimensi meliputi : RESPONSIBILITIES, FUNCTION, ROLES, SKLILLS ( dng pengetahuan khusus )
1. KARAKTERISTIK UNIK PRAKTEK KEP. GADAR
a. Pengkajian, diagnosa, terai baik yg urgen / non urgen individual dari berbagai umur pasien walaupun dng data / informasi yg sangat terbatas
b. Triage & Prioritas
c. Persiapan bencana alam
d. Stabilisasi & resusitasi
e. Krisis intervensi u/ populasi ps yg UNIk spt korban kekerasan sexual
f. Pemberian perawatan pd lingkungan yg tidak terkontrol atau yg tidak dpt diprrediksikan
2. KERANGKA KERJA PROSES KEP. EN
a. TUJUAN
• Menyelamatkan hidup
b. PENGKAJIAN
 Pada sistem yg terganggu
 U/ memperbaiki kegagalan atau mempertahankan sistem
c. DIAGNOSIS
 Mencari perbedaan u/ menemukan tanda-tanda & gejala
d. PERENCANAAN
 Berdasarkan protokol dan prosedur
e. INTERVENSI
 Terapi ditujukan pd penanganan gejala krisis & stabilisasi ps.
 Diteruskan s/d pasien stabil u/ dpt pindah atau ditransportasikan ke unit lain atau meninggal




PERTOLONGAN PERTAMA PADA GIGITAN ULAR

A. Ular berbisa di Indonesia
Ular berbisa hanya sedikit yang ditemukan di Indonesia, diantaranya: ular sendok (kobra), ular anang (tedung atau king kobra), ular welang, ular weling, ular hijau pucuk/ular gadung (luwuk), ular taliwangsa (belang hitam-kuning) dan ular tanah (coklat tua dengan taring panjang).

B. Sifat Ular
Sifat ular yang harus dipahami adalah; ular takut pada manusia, menggigit untuk memperingatkan/mengusir manusia (pada kebanyakan kasus) serta 70% gigitan ular bukan dari ular berbisa, umumnya hanya sedikit atau tidak ada racun yang disuntikkan. Gigitan ular tidak semuanya berakhir dengan kematian. Kematian tidak datang seketika atau dalam beberapa menit saja. Gejala biasanya timbul 15 menit sampai 2 jam kemudian setelah korban digigit ular.

C. Ciri-ciri ular berbisa
Ciri secara umum (tidak mutlak) yg biasanya ada pada ular berbisa, yaitu: bentuk kepala pipih dan berpola huruf ‘V’, ukuran relatif kecil atau pendek, kecuali King Cobra yang bisa mencapai 5 meter dan warna biasanya cerah (tetapi hal ini tidak mutlak).

D. Mencegah tidak digigit ular
Mencegah agar tidak digigit ular adalah; jangan membuat koleksi dari ular, tinggalkan/jangan ganggu ular. beberapa orang digigt karena berusaha membunuh atau mencoba mendekat. Di daerah yang banyak ular, pakai sepatu, kaos kaki dan jeans apabila keluar rumah , jangan masukkan tangan dicelah-celah timbunan kayu atau sampah, Bila berjalan di semak belukar usahakan membuat suara berisik agar ular tahu keberadaan kita dan menyingkir, hati-hati bila berjalan di rumput yang tebal dan potong pendek rumput di sekitar rumah, tempat kerja dan sekolah dan pergunakan senter bila berjalan di malam hari.

E. gambaran gigian ular berbisa
Gambaran gigian ular berbisa akan timbul rasa nyeri daerah tusukan (muncul segera seelah gigitan), daerah gigitan bengkak, kemerahan, memar (dapat cepat berkembang), reaksi emosi yang kuat, penglihatan kembar/kabur, mengantuk, sakit kepala, pusing dan pingsan, mual dan atau muntah dan diare, rasa sakit atau berat didada dan perut, tanda-tanda tusukan gigi, gigitan biasanya pada tungkai/kaki, sukar bernafas dan berkeringat banyak, kesulitan menelan serta kaku di daerah leher dan geraham.

F. Pertolongan pertama
pertolongan pertama, pastikan daerah sekitar aman dan ular telah pergi segera cari pertolongan medis jangan tinggalkan korban. selanjutnya lakukan prinsip :
R = Reassure = yakinkan kondisi korban, tenangkan dan istirahatkan korban,
kepanikan akan menaikan tekanan darah dan nadi sehingga racun akan lebih cepat
menyebar ke tubuh. terkadang pasien pingsan / panik karena kaget.
I = Immobilisation = jangan menggerakan korban, perintahkan korban untuk tidak
berjalan atau lari. Jika dalam waktu 30 menit pertolongan medis tidak datang:
lakukan tehnik balut tekan ( pressure-immoblisation ) pada daerah sekitar gigitan
(tangan atau kaki) lihat prosedur pressure immobilization (balut tekan)
G = Get = bawa korban ke rumah sakit sesegera dan seaman mungkin.
T =Tell the Doctor = informasikan ke dokter tanda dan gejala yang muncul pada
korban.

G. Prosedur Pressure Immobilization (balut tekan)
1. Balut tekan pada tangan
a. Istirahatkan (Immobilisasikan) Korban
b. Keringkan sekitar luka gigitan
c. Gunakan pembalut elastis
d. Jaga luka lebih rendah dari jantung
e. Sesegera mungkin, lakukan pembalutan dari bawah pangkal jari kaki naik keatas.
f. Biarkan jari kaki jangan dibalut
g. Jangan melepas celana atau baju korban
h. Balut dengan cara melingkar cukup kencang namun jangan sampai menghambat
aliran darah (dapat dilihat dengan warna jari kakiyang tetap pink)
i. Beri papan/pengalas keras sepanjang kaki.

2. Balut tekan pada tangan
a. Balut dari telapak tangan naik keatas. ( jari tangan tidak dibalut)
b. Balut siku & lengan dngn posisi ditekuk 90 drjt.
c. Lanjutkan balutan ke lengan s/d pangkal lengan.
d. Pasang papan sebagai fiksasi
e. Gunakan mitela untuk menggendong tangan

H. Kesalahan Penanganan
Kesalahan penanganan yg sering dilakukan, mengikat (Tourniquets) sekitar luka /gigitan membuat sayatan memotong, membuat perdarahan atau menggerakan daerah gigitan, mencuci luka gigitan dan menyedot racun dari luka gigit
I. Pertolongan di RS
1. Pasang I.V.,
2. resusitasi cairan jika diperlukan
3. Pelacakan alergi,
4. Jenis gigitan untuk menentukan antibisa
5. Resusitasi kardiopulmoner jika diperlukan,
6. Adrenalin
7. Cek laboratorium darah, jika dlm waktu 4 jam darah korban tidak terdapat tanda
koagulopati, miolisis dan pasien tidak menunjukan tanda gigitan berbisa maka pasien
tidak terkena gigitan berbisa.

J. Penatalaksanaan gigitan ular berbisa
1. Infus RL,
2. resusitasi cairan jika diperlukan
3. Cek laboratorium
4. Urinalisa
5. Darah lengkap
6. Golongan darah
7. Ptt,aptt, fibrinogen
8. BUN, creatinin, Va, phospat, dll
9. EKG
10. Monitor ketat pasien ( tiap 15mnt – 2 jam setelah gigitan )
11. Intubasi jika gagal nafas, cek sumbatan jalam nafas
12. RKP jika cardipulmonary arrest
13. pemberian antibisa
14. Larutkan antibisa dalam RL 60 cc,
15. berikan selama 30 mnt
16. Cek efek antibisa 15 menit setelah antibisa habis
17. Kemudian buka balutan dng hati-hati dlm waktu 5 mnt,
18. Jika setelah dibuka keadaan umum pasien tambah buruk
19. lakukan pembidaian kembali
20. Beri ATSAntibiotik profilaksis
21. Kontraindikasi diberikan Morfin



KASUS TRAUMA ABDOMEN

A. kasus
Pria (25) ditendang di daerah perut saat berkelahi. Shg mengalami hematoma dan abrasi, ttp petugas medis tdk melihatnya sbg cedera yg serius, diberi aspirin dan dipulangkan. 3 hari kmdn masuk RS dgn peritonitis berat. Sejumlah besar pus dan isi usus dikeluarkan ttp tak lama kemudian meninggal
B. Pendahuluan
Trimodal Death Distribution
KLL >> multiple trauma
85 % Multiple trauma >> Trauma abdomen
Angka Kematian trauma abdomen ??
C. Anatomi
• Batas rongga Abdomen :
a. Atas : Diafragma
b. Bawah : Pelvis
c. Depan : Dinding depan abdomen
d. Lateral : Dinding lateral abdomen
e. Belakang : Dinding belakang abdomen serta tulang belakang
D. Anatomi abdomen
E. Organ Abdomen
a. Solid
b. Berongga
F. Topografi Abdomen
a. Intra peritoneal
b. Retro peritoneal
c. Pelvical
G. Trauma Abdomen
• Trauma Tumpul
a. Benturan langsung, Setir mobil, stang
b. Ruptur organ >> Uterus bumil
c. Shearing Injuries >> penggunaan sabuk pengaman yg salah
d. Deceleration
• Trauma Tembus
a. Luka tusuk
b. Luka tembak kecepatan rendah >> kerusakan jaringan, lacerasi, putus
c. Luka tembak kecepatan tinggi >> hancur organ dalam
• Trauma penetrasi
a. Trauma penetrasi
H. mekanisme
Mechanism of injury?
Mekanisme Trauma ?
I. Pengkajian
• Riwayat trauma ? Biomekanika trauma?
• Pemeriksaan fisik abdomen :
a. Inspeksi
b. Auskultasi
c. Perkusi
d. Palpasi
J. Pemeriksaan
a. Stabilitas pelvis
b. Penis, perianal, rectal, vagina ?
c. Gluteal
K. Pemasangan kateter
a. Gastric tube :
• Mengurangi dilatasi akut lambung
• Dekompresi sebelum dilakukan Diagnostic Peritoneal Lavage (DPL)
• Mengeluarkan isi lambung >> resiko aspirasi >>>> bila ada darah ??
b. Kateter urine :
• Mengurangi retensi urine
• Dekompresi VU sebelum dilakukan DPL >>>>darah pada meatus ??
L. Pengambilan sampel
a. Darah
b. Urine
M. Pemeriksaan radiologis
a. Foto polos abdomen
b. Dengan kontras :
• uretrografi
• Cystografi
• IVP
N. Emergency Management
a. ABC
b. Cegah shock & infeksi
c. Jangan berikan apapun melalui mulut
d. Jangan sentuh bagian eviscerasi, lakukan penutupan luka seperti pada gambar
e. Jangan ambil impaled objects, lakukan fiksasi pada benda tersebut.
f. Monitoring ketat :
• Tingkat kesadaran
• Tanda vital >> hipotensi
• Adanya peritonitis
• Serial Hb
g. Segera rujuk / transportasi untuk Tindakan definitif.
O. Prosedur khusus
a. Diagnostic Peritoneal Lavage > memasukkan kateter pd peritoneal :
• multiple trauma
• hemodinamik tak stabil
• DPL Positif bila :
• Bila ada darah, isi usus, serat sayuran, cairan empedu
• Analisis kuantitatif cairan pencuci positif bila:
 RBC >100.000/mm3
 WBC > 500/mm3
 Hematocrit >2 ml/dl
b. laparatomi !!
a. Indikasi laparatomi
b. Trauma tumpul abdomen DPL positif
c. Trauma tumpul abdomen dg hipotensi berulang
d. Peritonitis akut
e. Hipotensi dengan luka tembus abdomen
f. Perdarahan gaster, rectal, daerah genitourinari akibat trauma tembus
g. Indikasi…...
h. Luka tembak melintas peritoneum/retroperitoneum viseral/vaskular
i. Eviscerasi
j. Rontgen :
 ada udara bebas rongga peritoneum, ruptur diafragma
 CT : ruptur GI tract, cedera kandung kemih, renal dan organ vital lain.
P. Ringkasan
a. Trauma abdomen bisa disebabkan oleh trauma tumpul dan trauma tajam
b. Fokus tindakan emergency :
• ABC
• Cegah shock
• Cegah infeksi
• Monitoring.


KEGAWATAN OBSTETRIK

I. Emergency Obstetric Care
A. Pendahuluan
Maternal mortality claims 514,000 women’s lives each year. Nearly all these lives could be saved if affordable, good-quality obstetric care were available 24 hours a day, 7 days a week.
B. Pengertian
Kasus obstetri yg apabila tidak segera ditangani akan berakibat kematian ibu dan janinya . Kasus ini sbg penyebab kematian ibu, janin dan bayi baru lahir. Obstetrical emergencies are life-threatening medical conditions that occur in pregnancy or during or after labor and delivery.
C. Penyebab utama kematian :
Most of the deaths are caused by haemorrhage, obstructed labour, infection (sepsis), unsafe abortion and eclampsia (pregnancy-induced hypertension). Indirect causes likemalaria, HIV and anaemia

D. KASUS PERDARAHAN
1. Abortus
2. Kehamilan ektopik terganggu
3. Mola hidratidosa
4. Placenta previa
5. Abruptio placenta
6. Inversi atau Ruptur uteri
7. Atonia uteri
8. Ruptur perineum & robekan dinding vagina
9. AMNIOTIC FLUID EMBOLISM
10. Retensio plasenta
11. rolapse of the umbilical cord
12. Shoulder dystocia
E. INFEKSI & SEPSIS
1. Infeksi dlm kehamilan:
a. Virus varicella,
b. influenza,
c. toksoplasmosisherpes genitalia
2. Infeksi dlm persalinan:
a. korioamnionitis
3. Infeksi nifas :
a. metritis,
b. tromboplebitis
F. MANIFESTASI KLINIS
Untuk masing-masing ksus berbeda dng rentang waktu yg luas, perdarahan dpt bermanifestasi dari perdarahan berwujud bercak merembes profus s/d shockInfeksi & sepsis, bermanifestasi mulai dr pengeluaran cairan pervaginam yg berbau, air ketuban hijau, demam s.d shock. Pre eklamsi & eklamsi, mulai dr keluhan sakit kepala / pusing, bengkak, penglihatan kabur, kejang-kejang, tidak sadar s/d koma
G. Diagnosis
In a hospital or other urgent care facility. patient's medical history and perform a pelvic and general physical examination.The mother's vital signs, if preeclampsia is suspected, blood pressure may be monitored over a period of time. The fetal heartbeat is assessed with a doppler stethoscope, and diagnostic blood and urine tests: protein and/or bacterial infection.
An abdominal ultrasound: malpositioned placenta, such as placenta previa or placenta abruption.

II. KEHAMILAN EKTOPIK TERGANGGU (KET)
A. DEFINISI
KET adalah kehamilan dimana setelah fertilisasi , implantasi terjadidiluar endometrium kavum uteri.KET dpt mengalami abortus atau ruptur apabila masa kehamilan berkembang melebihi kapasitas ruang implantasi dan peristiwa ini disebut sbg KET
B. TANDA & GEJALA
1. Gejala kehamilan muda & abortus imminens
2. Pucat / anemia
3. Keadaan umum lemah, terjadi penurunan lesadaran
4. Shock
5. Nyeri tekan
6. Nyeri perut bagian bawah yang makin hebat apabila tubuh digerakan
C. PENANGANAN KET
1. Pemeriksaan fisik, tes kehamilan, anamnesa untuk menegakan diagnosa KET
2. Setelah terdiagnosa KET, segera lakukan persiapan operasi gawat darurat
3. Sediakan darah
4. Upayakan stabilisasi pasien dengan terapi cairan
5. Kendalikan nyeri pasca tindakan konseling pasca tindakan .

III. RUPTUR UTERI , Ruptur uteri merupakan komplikasi yg sangat fatal
A. DEFINISI
Robekan dinding rahim akibat dilampauinya daya regang miometrium yang disebabkan oleh disproporsi janin dan panggul, partus macet atau traumatik
B. TANDA & GEJALA KLINIS
1. Didahului oleh lingkaran konstriksi ( Bandl’s ring) hingga umbilikus atau diatasnya
2. Nyeri hebat pada perut bagian bawah
3. Hilangnya kontraksi & bentuk normal uterus gravidus
4. Perdarahan pervaginam dan shock
C. PENANGANAN RUPTUR UTERI
Penanganan dan pengenalan segera dan tepat pada kasus ini dapt menyelamatkan pasien dari kematian
1. Tindakan paling tepat : operasi laparatomi u/ menlahirkan anak & placenta
2. Resusitasi cairan untuk mengganti kehilangan darah
3. Pantau tanda vital & shock hipovolemik scr ketat
4. Bila konsenvasi uterus masih diperlukan & kondisi jaringan memungkinkan, dilakukan tindakan operasi uterus
5. Bila luka mengalami nekrosis luas & kondisi pasien menghawatirkan dilakukan histerektomi
6. Pemantauan ketat KU, TV, perdarahan, kesadaran, shock, lab dll , pasca operasi




IV. ABRUPTIO PLACENTA
A. DEFINISI
Suatu keadaan dimana plasenta terlepas dari dinding dalam uterus sebelum bayi lahirMerujuk pada terlepasnya plasenta yg terletak pada posisi normalnyan setelah minggu ke 20 kehamilan dan utamanya pada saat kelahiran.
B. Statistik
Prev di dunia sekitar 1% dari seluruh kehamilan di dunia.
C. Mortalitas/mordibitas:
Kematian IBU dan JANIN dapat terjadi krn PERDARAHAN dan KOAGULOPATI.
Kematian bayi stlh lahir sekitar 15%
D. Klasifikasi
Berat ringanya komplikasi abruptio placenta tergantung pada : jumlah perdarahan, derajat lepasnya placenta, ukuran bekuan darah yang terbentuk pada permukaan placenta maternal.
Ada beberapa sistem pengklasifikasian derajat abruptio placenta, salah satunya adalah dng pembagian :
1. RINGAN
<> 2/3 bagian placenta terlepas dr uterus yang menyebabkan kaku & kencangnya uterus terus-menerus yang disertai nyeri berat. Perdarahan hitam pervaginam + ( > 1000 cc ), terkadang perdarahan tidak terjadi. Distres fetus mulai terjadi dan jika fetus tidak dilahirkan kematian tidak dpt dielakan. Terlepasnya plasenta menyebabkab ibu mengalami shock, kematian fetus, nyeri hebat dan kemungkinan berkembangnya DIC ( disseminated intravaskular coagulation )
E. Causes
1. Perdarahan retroplasenta karena penusukan jarum
2. Hamil pada usia tua
3. idiopatik
4. Fibromioma retroplacenta
5. Hipertensi maternal
6. Maternal trauma
7. Ibu perokok
8. Penggunaan kokain
9. Tali pusat pendek
10. Dekompresi pd uterus yg tiba-tiba
F. FAKTOR PREDISPOSISI
1. Kondisi yg berhubungan dng abruptio placenta :
2. PIH ( pregnancy induced hypertension ) atau hipertensi kronik (140 / 90 mmhg )
3. Ruptur prematur dari membran <> 35 th, anomali uterus fibroid dan penyakit vaskuler misalnya DM atau penyakit colagen. Trauma eksternal ( misal kecelakaan )
4. Resiko akibat perilaku misalnya merokok, mengkonsumsi ethanol, kokain, methemphetamin
5. Riwayat abruptio placenta
6. Dekompresi cepat dr distensi yg berlebihan misal pd gestasi ganda, polihidramnion
7. Defisiensi asam folat ( jarang terjadi )
8. Riwayat
9. Ps biasanya memperlihatkan gejala :
10. Perdarahan Vaginal (80%)
11. Nyeri Abdomen / back pain dan kekakuan uterus (70%)
12. Fetal distress (60%)
13. Kontraksi abdomen Abnormal (hipertonik, frek tinggi) (35%)
14. Idioaphic prematur labor (25%)
15. Kematian Fetus (15%)
G. TANDA & GEJALA
1. Sangat tergantung pd luas / jumlah plasenta yg
2. lepas dan tipe abruptio
3. Sangat bervariasi
4. Tanda klasik kejadian akut “ knife like “ abdominal pain dng atau tanpa perdarahan pervaginam
5. AP ringan, gejalanya dpt spt nyeri melahirkan
6. AP berat nyeri dpt terjadi tiba-tiba & spt ditusuk pisau
7. Jika tjd perdarahan abdomen mjd membesar & uterus kaku. Abdomen spt “ board-like”
8. A couvelaire uterus s/d shock pd ibu
9. Perdarahan pervaginam ( pd 80% penderita )
10. Fetal distres s/d meninggal
H. Uji diagnostik
1. Lab
• Hb
• Ht
• Platelet
• Prothrombin/ aptt
• Fibrinogen
• Fibrin
• D-dimer
• Gol darah
2. USG
• Prehospital management
• Mon TV kontinyu
• O2 kontinyu-high flow
• IV line (1-2 jalur ): NaCl / RL
• Mon perdarahn vagina
• Mon DJJ
• Terapi shock jk diperlukan
3. ED
• Observasi ketat
• O2 tinggi
• DJJ mon
• IV-cairan
• Resusc cairan K?P
• Mon TV- U/O
• PRC- 4 unit disiapkan
• Mon penurunan tekanan intrauterin
• Seceparnya operasi SC
• Kolaborasi terapi DIC
I. PENATALAKSANAAN
Bervariasi tergantung : umur gestasi fetus, beratnya abruptio, komplikasi yg berhubungan, status ibu & fetus.
1. jk perdarahan banyak & tidak dpt dikontrol dilakukan persalinan yg tepat
2. Penentuan persalinan cepat tergantung pd beratnya abruptio placenta dan janin hidup / mati
3. AP berat dng atau tanpa perdarahan pervaginam dilakukan operasi sesar
4. Kehamilan dibawah 37 minggu penatalaksanaanya diyujukan pd memperpanjang kehamilan dengan harapan maturitas fetus
5. Jika fetus immatur dan tidak memperlihatkan kompresi fetus serta perdarahan pd ibu tidak menyebabkan hipovolemiadilakukan observasi ketat scr dini.
6. Fungsi koagulasi & status vilume obu baik tp terdapat distress fetus persalinan dilakukan dng cara yg aman.
V. PRE EKLAMSI & EKLAMSI
A. PRE EKLAMSI
Diagnosa pre eklamsi didasarkan pd berkembangnya pregnancy- induced hypertension dengan proteinuria, edema atau keduanya setelah 20 minggu kehamilan. Pre eklamsi dpr diklasifikasikan berat jika terdapat satu atau lebih gejala dibawah ini :
1. Pd keadaan istirahat TD sistolik ³ 160 mmhg atau diastolik 110 mmhg yg terjadi dua kali minimal dlm waktu 6 juam.
2. Proteinuria ³ 5 gr / 24 jam
3. Oliguria <> disukai IV , loading dose 4 mg dilanjutkan IV 1 - 2
2. KONTROL TEKANAN DARAH
tujuan terapi adalah menurunkan tekanan darah sistemik sapai pd titik dimana ststua ibu stabil. Tidak harus menurunkan sampai normal.
3. TERAPI SUPPORTIF
Pada pre eklamsi berat sering terjadi edema paru cadiac dan noncardiac. Terapi olsigen diberikan u/ mempertahankan PaO2 > 70 mmhg u/ mempertahankan oksigenasi fetus. K/P intubasi challengec cairan IV sebaiknya diberikan. Jk tidak berhasil lakukan monitoring hemodinamik invasif. Jk IV volume adekuat terapi vasodelator dpt membantu, monitoring ketat tanda vital, hemodinamik,status neurologis, kondisi janin, oksigenasi, dll.
4. HELLP SYNDROME
a. H = HEMOLISIS, an abnormal peripheral smear, total bilirubin > 1,2 mg/dl, atau kadar serum lactat dehydrogenase ( LDH ) > 600 U/L
b. EL=elevated lever enzym, aspartate aminotransferase ( AST) > 70 U/L atau LDH > 600U/L dan
c. LP= low platelet count - < 100,000/mm3
• Mengidentifikasi adanya kondisi kehamilan yg BERAT & MENGANCAM KEHIDUPAN
• Variasi sindroma ini mungkin tida melibatkan seluruh gejala diatas. Dapat muncul dng tanda yang tidak spesifik seperti nyeri epigastrum atau nyeri kuadran kanan bawah, malaise, mual, muntah,.
• Umumnya terjadi pada usia kehamilan 27 – 36 mg.
• pre eklamsi / eklamsi umumnya mendahului HELLP syndrome tapi 1/3 ps tidak mengalami hipertensi.
• Merupakan bagian dari fibrolisis atau hemolisis dr pre eklamsi trombositopenia DIC, perdarahan ntraserebral, gagal ginjal,
• Terkadang gejalanya dikacaukan dengan acute fatty liver in pregnancy
• Tidak merupakan indikasi persalinan namun demgan meningkatnya mordibitas fetus & maternal diperlukan persalinan yg tepat. Terapi hampir sama dengan pre eklamsi berat / eklamsi.
VI. AMNIOTIC FLUID EMBOLISM
A rare but frequently fatal complication of labor occurs when amniotic fluid embolizes from the amniotic sac and through the veins of the uterus and into the circulatory system of the mother. The fetal cells present in the fluid then block or clog the pulmonary artery, resulting in heart attack. This complication can also happen during pregnancy, but usually occurs in the presence of strong contractions.
VII. PROLAPSED UMBILICAL CORD
A prolapse of the umbilical cord occurs when the cord is pushed down into the cervix or vagina. If the cord becomes compressed, the oxygen supply to the fetus could be diminished, resulting in brain damage or possible death.
VIII. SHOULDER DYSTOCIA
Shoulder dystocia occurs when the baby's shoulder(s) becomes wedged in the birth canal after the head has been delivered.


INTOKSIKASI
Penyebab intoksisasi ada banyak macam, yang sering terjadi adalah karena kecelakaan atau, disengaja / bunuh diri. Di Amerika intoksikasi ± 75% terjadi pada anak umumnya karena keracunan produk rumah tangga

A. Agen Intoksikasi
Terjadi pada semua umur remaja: obat-obat psikotropik, sedative, transqualizer, antidepresan dan obat-obat narkotik. dewasa umumnya karena kecelakaan kerja (karbon monoksida, pestisida, keracunan makanan, dll)

B. Mekanisme
Mekanisme cidera masing-masing racun memiliki efek patologis yang berbeda-beda dimana masing masing racun memiliki patologi sendiri-sendiri. Efek racun dapat terjadi pada tempat atau sekitar masuknya racun (misalnya reaksi kimia sitotoksin) dan dapat berupa toksisitas sistemik yaitu efek-efek selektif racun atau efek metabolik khusus dari racun itu terhadap target yang spesifik misalkan asetaminofen di liver, methanol diretina, dll.

C. Pengkajian Prioritas Utama
1. Pengkajia riwayat kejadian, tanyakan pada pengantar pasien/pasien sendiri jika kooperatif.
2. Pengjakian fisik : Initial assessment/ Arway- Breathing- Cirkulating ( ABC)
a. Tingkat kesadaran
b. Pernafasan dan efektifitas nafas
c. Irama jantung
d. Ada tidaknya kejang
e. Keadaan dan warna kulit
f. Besar dan reaksi pupil mata
g. lesi, bau mulut, dan lainnya
Terkadang setelah mendapatkan resusitasi (ABC) sering dilanjutkan dengan perawatan suportif di ICU dan dilakukan pengeluaran zat penyebab dari tubuh serta mungkin diperlukan antidotumnya.
Jika didapat pasien tidak sadar dengan penyebab yang Belum jelas, perlu selalu difikirkan adanya kemungkinan intoksikasi. tindakan pertama:menjaga jalan nafas, oksigen ( biasanya tidak kurang dari 6 lt / menit), K/p bantuan nafas, IV line, kemudian cek seluruh tubuh adanya tanda-tanda kemungkinan mendapat obat atau racun, periksa adanya bekas suntikan, zat terminum bau nafas dan lainnya dan perkirakan juga kemungkinan terjadinya hipoglikemi.

D. Evaluasi/outcome umum pd intoksikasi
Stabilisasi & menigkatnya kardiorespirasi, kriteria :
sistolik 100mmHg, nadi 60 – 100X / menit, irama reguler
respirasi 24 X/ menit, tidak ada rales, tidak ada wheezing
meningkatnya kesadaran
1. Carbon Monoxide Poisoning
Carbon monoxide (CO), is a colorless, odorless, toxic gas that is a product of incomplete combustion. Motor vehicles, heaters, appliances that use carbon based fuels, and household fires are the main sources of this poison.
2. Carbon monoxide (CO)
Carbon monoxide (CO) intoxication is the leading cause of death due to poisoning in the United States and also the most common cause of death in combustion related inhalation injury. The incidence of non-lethal CO poisoning is not well established nor is that of unrecognized CO poisonin. Mortality rates as high as 31% have been reported in large series
3. Agent
Most immediate deaths from building fires are due to CO poisoning and therefore, fire fighters are at high risk.
a. Exogenous Sources of CO
b. Car exhaust fumes
c. Furnaces
d. Gas-powered engines
e. Home water heaters
f. Paint removers containing methylene chloride
g. Pool heaters
h. Smoke from all types of fire
i. Sterno fuel
j. Tobacco smoke
k. Wood stoves

E. Pathophysiology
In patients who die early following CO poisoning the brain is edematous, and there are diffuse petechia and hemorrhages. If the victim survives initially but dies within a few weeks, findings typical of ischemic anoxia are prominent. Interestingly, the severity of the lesions appears to correlate best with the degree of hypotension rather than with hypoxia.
1. Hypoxia and cellular asphyxia
CO combines preferentially with hemoglobin to produce COHb, displacing oxygen and reducing systemic arterial oxygen (O2) content. CO binds reversibly to hemoglobin with an affinity 200- 230 times that of oxygen. Consequently, relatively minute concentrations of the gas in the environment can result in toxic concentrations in human blood. Possible mechanisms of toxicity include: decrease in the oxygen carrying capacity of blood. Alteration of the dissociation characteristics of oxyhemoglobin, further decreasing oxygen delivery to the tissues. Decrease in cellular respiration by binding with cytochrome a3. Binding to myoglobin, potentially causing myocardial and skeletal muscle dysfunction.
2. Ischemia.
In addition to causing tissue hypoxia, CO can cause injury by impairing tissue perfusion, indicate that myocardial depression, peripheral vasodilation, and ventricular arrhythmia causing hypotension may be important in the genesis of neurologic injury.
3. Reperfusion injury
Many of the pathophysiologic changes are similar to those seen with postischemic reperfusion injuries, and similar pathology occurs in the brain in the absence of CO when hypoxic hypoxia precedes an interval of ischemia.
F. Symptomatology
Many victims of CO poisoning die or suffer permanent, severe neurological injury despite treatment. In addition, as many as 50% of those who recover consciousness and survive may experience varying degree of more subtle but still disabling neuropsychiatric sequela.
The features of acute CO poisoning are more dramatic than those resulting from chronic exposure. The clinical presentation of acute CO poisoning is variable, but in general, the severity of observed symptoms correlates roughly with the observed level of COHb:
COHb Levels and Symptomatology
a. 10% Asymptomatic or may have headaches
b. 20% Dizzyness, nausea, and syncope
c. 30% Visual disturbances
d. 40% Confusion and syncope
e. 50% Seizures and coma
f. 60% Cardiopulmonary dysfunction & death

G. Management
The mainstay of therapy for CO poisoning is supplemental O2, ventilatory support and monitoring for cardiac arrhythmias. There is general agreement that 100% oxygen should be administered prior to laboratory confirmation when CO poisoning is suspected. The goal of oxygen therapy is to improve the O2 content of the blood by maximizing the fraction dissolved in plasma (PaO2).36 Once treatment begins, O2 therapy and observation must continue long enough to prevent delayed sequelae as carboxymyoglobin unloads.
The most controversial and widely debated topic regarding CO poisoning is the use of hyperbaric oxygen (HBO). The most controversial and widely debated topic regarding CO poisoning is the use of hyperbaric oxygen (HBO) severe poisoning should be treated with 100% oxygen, with endotracheal intubation in patients who cannot protect their airway. In these patients, consideration should be given to transfusion of packed red blood cells.
H. Prognosis
30% of patients with severe poisoning have a fatal outcome.49 One study has estimated that 11% of survivors have long-term neuropsychiatric deficits, including 3% whose neurologic manifestations are delayed. One third of CO poisoning victims may have subtle but lasting memory deficits or personality changes.40. Indicators of a poor prognosis include altered consciousness at presentation, advanced age, patients with underlying cardiovascular disease, metabolic acidosis, and structural abnormalities on CT or MRI scanning.
Organophosphate and Carbamate Poisioning
Although OPC and carbamates are structurally distinct, they have similar clinical manifestations and generally the same management. Although most patients with OPC and carbamate poisoning have a good prognosis, severe poisoning is potentially lethal. Early diagnosis and initiation of treatment are important. The ED physician has access to a number of therapeutic options that can decrease morbidity and mortality.

I. Pathophysiology
OPCs and carbamates bind to 1 of the active sites of acetylcholinesterase (AChE) and inhibit the functionality of this enzyme by means of steric inhibition. The main purpose of AChE is to hydrolyze acetylcholine (ACh) to choline and acetic acid. Therefore, the inhibition of AChE causes an excess of ACh in synapses and neuromuscular junctions, resulting in muscarinic and nicotinic symptoms and signs.
Excess ACh in the synapse can lead to 3 sets of symptoms and signs. First, accumulation of ACh at postganglionic muscarinic synapses lead to parasympathetic activity of smooth muscle in lungs, the GI tract, heart, eyes, bladder, and secretory glands, and increased activity in postganglionic sympathetic receptors for sweat glands. This results in the symptoms and signs that can be remembered with the mnemonic SLUDGE/BBB. Second, excessive ACh at nicotinic motor end plates causes persistent depolarization of skeletal muscle (analogous to that of succinylcholine), resulting in fasciculations, progressive weakness, and hypotonicity. Third, as OPs cross the blood-brain barrier, they may cause seizures, respiratory depression, and CNS depression for reasons not completely understood.



J. Signs & Symptoms
Patients often present with evidence of a cholinergic toxic syndrome, or toxidrome. SLUDGE/BBB mnemonic :
S = Salivation
L = Lacrimation
U = Urination
D = Defecation
G = GI symptoms
E = Emesis
B = Bronchorrhea
B = Bronchospasm
B = Bradycardia

DUMBELS mnemonic
D = Diarrhea and diaphoresis
U = Urination
M = Miosis
B = Bronchorrhea, bronchospasm, and bradycardia
E = Emesis
L = Lacrimation
S = Salivation

K. Lab & Test
Serum cholinesterase and RBC AChE activity, which are used to estimate neuronal AChE activity. Other Tests: ECG, prolonged QTc interval is the most common ECG abnormality. Elevation of the ST segment, sinus tachycardia, sinus bradycardia, and complete heart block (rare) may also occur. (Sinus tachycardia occurs just as commonly as sinus bradycardia.)




L. Prehospital Care
Identification of the type of chemical is important. As a general rule, dimethyl OPCs undergo rapid aging, which makes early initiation of oximes critical. In comparison, diethyl compounds may cause delayed toxicity, and oxime therapy may need to be prolonged.

M. Emergency Department Care
1. ABC
Care of the ABCs should be initiated first because intubation may be necessary in cases of severe poisoning. Because succinylcholine is metabolized by means of plasma cholinesterase, OPC or carbamate poisoning may cause prolonged paralysis. Increased doses of nondepolarizing agents, such as pancuronium or vecuronium, may be required to achieve paralysis because of the excess ACh at the receptor.
Providers with appropriate personal protective equipment (PPE) can address the ABCs before decontamination atropine can precipitate ventricular fibrillation in hypoxic patients. Paradoxically, the early use of adequate atropine will dry respiratory secretions, improve muscle weakness and thereby improve oxygenation. The following should be monitored on a regular basis to assess the patient's respiratory status:
a. Respiratory rate
b. Tidal volume/ vital capacity
c. Neck muscle weakness
d. Ocular muscle involvement eg. diplopia
e. Arterial blood gas analysis
f. Cardiac monitoring, a wide range of cardiac manifestations can occur and careful haemodynamic and electrocardiac monitoring hypoxaemia, metabolic and electrolyte abnormalities can all contribute to cardiac arrhythmias. Some arrhythmias may require cardiac pacing.
2. Decontamination:
Important part of the initial care, decontamination depends on the route of poisoning. The patient's body should then be thoroughly washed with soap and water to prevent further absorption from the skin. Washing the poisioned person and removing contaminated clothes nosocomial poisoning in staff members treating patients who have been exposed to OPCs and carbamates; the odors often smelled when one cares for a patient poisoned from pesticide are commonly due to the hydrocarbon solvent, which may cause symptoms independent of the OPC agent. The patient's clothes must be removed and isolated, and his or her body washed with soap and water.GI decontamination: Oral administration of activated charcoal is a reasonable intervention after GI poisoning. Gastric emptying should then be considered if the patient presents within 1 hour of ingestion. Gastric lavage is the only means of emptying the stomach in unconscious patients in which case the airway needs to be protected.
3. Atropine
Atropine is a pure muscarinic antagonist that competes with ACh at the muscarinic receptor.
most commonly given in intravenous (IV) form at the recommended dose of 2-5 mg for adults and 0.05 mg/kg for kids with a minimum dose of 0.1 mg to prevent reflex bradycardia. Atropine may be redosed every 5-10 minutes. Severe OP poisonings often require hundreds of milligrams of atropine. In 1 case report, a patient required frequent doses of atropine and was eventually converted to an atropine infusion to a total of 30 g over 5 days.
Most sources recommend starting atropine on patients with anything more than ocular effects and then observing the drying of secretions as an endpoint in titrating to the appropriate dose. From the Tokyo sarin experience, patients poisoned by nerve agents had modest atropine requirements, with none requiring more than 10 mg. The recommended starting dose of atropine is a 2mg IV bolus. Subsequent doses of 2-5mg every 5-15 minutes should be administered until atropinization is achieved. The signs of adequate atropinization include an increased heart rate (>100 beats/min.), moderately dilated pupils, a reduction in bowel sounds, a dry mouth and a decrease in bronchial secretions.
4. Benzodiazepines
Seizures are an uncommon complication of OP poisoning. When they occur, they represent severe toxicity.
5. Other treatments
magnesium and fresh-frozen plasma as adjunctive therapy. both must be evaluated. Nebulized ipratropium bromide as an adjunct agent.



N. Management of Organophosphorus compunds poisoning
1. Skin decontamination **
2. Airway protection if indicated **
3. Gastric lavage
4. Activated charcoal 0.5-1gm/kg every 4hr
5. Anticholinesterase: Atropine/glycopyrrolate **
6. Cholinesterase reactivator: Pralidoxine
7. Ventilatory support
8. Inotropic support
9. Benzodazepines ( if seizure) **
10. Feeding-enteral/parental
** = useful

O. Further Inpatient Care
Patients who require continuous monitoring or treatment should be admitted to the ICU. Patients with clinically significant poisoning should be evaluated frequently to monitor their airway and respiratory secretions. In addition, frequent neurologic examination should be performed to evaluate for neuromuscular blockade. Therapy is largely titrated to the physical findings. Atropinization is based on the drying of respiratory secretions, and oxime therapy is based on an improvement in neuromuscular signs. A toxicologist may be of help in determining specific aging and reactivation times of the particular OPC or carbamate agent.

P. Further Outpatient Care:
Patients without any symptoms and with questionable or minimal exposure to OPs or carbamates may be considered for discharge after 6-12 hours of observation. Patients with residual neurologic symptoms should be given a follow-up appointment with a neurologist. Follow-up with a psychiatrist should be arranged as indicated.

Q. Complications
1. Intermediate syndrome, Intermediate syndrome was first described in 1987 as a sudden respiratory paresis, with weakness in cranial nerves and proximal-limb and neck flexor muscles. These clinical features appear 24-96 hours after exposure and are distinct from the previously described delayed neurotoxicity (see below). Although intermediate syndrome is incompletely understood, more recent reports suggest this is due to presynaptic and postsynaptic dysfunction of neuromuscular transmission and that it may result from insufficient oxime treatment.
2. OPC-induced delayed neurotoxicity (OPCIDN), OPCIDN is a sensorimotor polyneuropathy that typically occurs 9-14 days after OP exposure. The patient initially presents with distal motor weakness and sensory paresthesias in the lower extremities, which may progress proximally and eventually affect the upper extremities. Most sources suggest the mechanism involves inhibition of neuropathy target esterase (NTE), an enzyme that metabolizes esters in nerve cells. Some patients may recover over 12-15 months, but permanent losses with spasticity and persistent upper motor neuron findings have been reported.
3. Pancreatitis, Pancreatitis has been reported as a rare complication. One case series reported that 12.76% of OP poisonings were associated with acute pancreatitis, though this has not been the experience in other series.

R. Prognosis
In severe poisoning, death usually occurs within the first 24 hours if it is untreated. With nerve-agent poisoning, death may occur within minutes if untreated. Even with adequate respiratory support, intensive care, and specific treatment with atropine and oximes, the mortality rate is still high in severe poisonings. A delay in treatment can also lead to late and permanent neurologic sequelae. Most patients with minimal symptoms fully recover.

S. Special Concerns
Pregnant women should receive the same treatment as that given to other adults. Both atropine and pralidoxime are class C drugs in pregnancy. In the Tokyo subway attacks, 5 pregnant women were mildly poisoned, and all had normal babies without complications.